Berita  

KSPI Tolak Sistem Upah per Jam, Khawatir Upah Minimum Hilang

Poster yang dibawa Aliansi Serikat Buruh Jawa Barat saat demo menolak kebijakan upah minimum rendah di depan Gedung Sate, Bandung (2/11/2019).

Jakarta, KabarBerita.id –Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengkhawatirkan upah minimum akan hilang jika terjadi perubahan sistem upah menjadi per jam, karena dapat menyebabkan pengurangan upah yang merugikan para pekerja.

“Berapa jam sih buruh dapat bekerja dalam seminggu itu tidak dijelaskan dalam Omnibus Law, sehingga upah minimum akan tereduksi dengan sendirinya. Maka kenapa upah kerja per jam kita tolak karena tidak mau upah minimum itu dihilangkan,” kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Sabtu.

Dalam rancangan Omnibus Law klaster ketenagakerjaan itu, menurut Said tidak disebutkan jumlah jam buruh atau karyawan atau pegawai dapat bekerja dalam seminggu sementara di negara lain seperti Jepang, hal tersebut dijelaskan dalam peraturan mereka.

Said juga mengatakan rancangan peraturan itu hanya menyebut upah per jam dan tidak menyebutkan upah minimum per jam.

“Kalau di negara maju tadi upah minimum per jam maka kalau di atas upah minimum per jam itu baru negosiasi produktivitas misal di sektor otomotif berapa, sektor jurnalistik berapa, sektor pariwisata berapa, kan kita hanya bilang upah per jam dalam undang-undangnya,” ujarnya.

Menurut KSPI, prinsip upah minimum adalah jaringan pengamanan agar buruh tidak miskin sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU No. 13 tahun 2003.

Said mengatakan penerapan sistem upah per jam dapat membuat buruh menerima upah bulanan di bawah nilai upah minimum.

“Upah minimum adalah jaringan pengamanan agar orang yang bekerja baik disebut buruh, karyawan, pegawai atau siapapun yang menerima upah, tidak absolut miskin, itulah keluar namanya standard living cost,” tuturnya.

Dengan upah minimum, jika pekerja tidak bekerja karena cuti atau sakit maka dia tetap menerima upah sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi.

Said khawatir jika dengan skema upah per jam, maka buruh yang menjalankan hak cuti atau tidak bekerja sementara karena sakit tidak mendapat upah sehingga berpengaruh pada kualitas hidup dan daya beli mereka.

Dia menuturkan skema upah per jam juga tidak jelas diterapkan di sektor apa saja, sehingga menimbulkan kerancuan.

“Upah per jam itu tidak jelas ingin menyasar sektor apa, apakah orang yang bekerja misalkan sopir ojek online berani nggak dihitung per jamnya berapa. Bagaimana cara menghitung jam dalam hubungan kerja misalnya seorang driver ojek online pukul 07.00 WIB pagi dia keluar dan pukul 24.00 WIB malam dia pulang selesai bekerja, maka berapa jam dihitung, demikian para tour guide yang bekerja sampai tidak kenal waktu bagaimana hitungannya, dan sebagainya,” ujarnya.

Sebelumnya, dalam rancangan Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja sedang dipersiapkan skema khusus yang memungkinkan ada upah lanjutan bagi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto setelah rapat terbatas tentang perkembangan penyusunan Omnibus Law yang dipimpin Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat, mengatakan dalam pembahasan mengenai cipta lapangan pekerjaan, sedang dipersiapkan skema baru untuk di bidang ketenagakerjaan terkait dengan “unemployment benefit”.

Menteri Airlangga Hartarto mengatakan Omnibus Law akan mempermudah aliran investasi, salah satunya untuk proyek strategis nasional melalui kemudahan perizinan yang difasilitasi pemerintah.

“Kita akan dorong, pemerintah akan menyediakan lahan dan pemerintah mengatur perizinannya, jadi investor tinggal investasi,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ketika ditemui di kantornya di Jakarta, Senin.

Menurut Menko Airlangga, upaya itu untuk menumbuhkan iklim investasi yang menarik bagi investor, sekaligus dapat menciptakan lapangan pekerjaan.

Tinggalkan Balasan