Penyebaran Vaksin,WHO Soroti Belum Adanya Akses Adil bagi Negara Miskin

Ilustrasi vaksin covid

Jakarta,KabarBerita.id –- Dalam proses penyebaran vaksin,ternyata masih banyak warga dari berbagai negara miskin yang belum memperoleh akses adil dan setara. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada saat peringatan satu tahun berdirinya Covax.

Menurut laporan yang dirilis pada Jumat (23/4), Ghebreyesus menyatakan bahwa vaksin yang telah diberikan secara global mencapai hampir 900 juta dosis, namun sayangnya negara dengan penghasilan rendah hanya menerima 0,3% saja.Sementara itu,lebih dari 81% vaksin diberikan kepada negara yang berpenghasilan tinggi dan atau menengah ke atas.

Ketidakadilan tersebut bukan kali pertama disoroti oleh Ghebreyesus. sejauh ini, Insiatif Covax yang dipimpin WHO telah mengirimkan 40,5 juta dosis vaksin covid ke 118 negara.
Gavi Vaccine Alliance bersama Covax menyatakan bahwa pasokan vaksin akan ia usahakan segera diproduksi bagi negara-negara miskin.

Hal ini dilakukan dengan tujuan mengurangi adanya masalah pasokan vaksin AstraZeneca dari India yang dikembangkan bersama Universitas Oxford. Yang mana terdapat penemuan kasus pembekuan darah setelah penggunaan dari vaksin ini. Beberapa negara telah memutuskan untuk membatasi penggunaan vaksin tersebut.

Oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan seperti pembaruan panduan penggunaan vaksin astrazeneca oleh Kelompok Penasihat Strategis Ahli Imunisasi WHO. Mereka juga memasukkan sindrom pembekuan darah sebagai langkah kehati-hatian.

Keputusan ini diambil setelah banyak data baru yang terus muncul melalui uji klinis serta berbagai pemantauan vaksinasi di seluruh dunia. WHO dalam panduan terbarunya menyatakan bahwa,setelah penggunaan vaksin AstraZeneca antara 4-20 hari, muncul kondisi di mana terjadi pembukuan darah langka dengan jumlah trombosit yang rendah.

Dikutip dari laman United Press internasional,Kelompok Penasihat Strategis Ahli Imunisasi WHO menyatakan bahwa, dari satu negara ke negara lain mungkin memiliki resiko dan manfaat yang berbeda-beda. Sebaiknya tiap negara cara wajib mempertimbangkan situasi epidemiologis, resiko tingkat individu dan populasi, ketersediaan vaksin lain, serta mengambil pilihan alternatif lain.

Tinggalkan Balasan