Berita  

Tiga Isu Ini Jadi Kontroversi di Awal Kepemimpinan Anies

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno

 

Kabarberita.id — Presiden Joko Widodo melantik Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada Senin (19/10).

Di awal kepemimpinannya, terdapat tiga isu yang memicu kontroversi di masyarakat. Ketiga isu itu tak hanya jadi perdebatan di kalangan elite nasional, tapi juga di tataran akar rumput.

Berikut ketiga isu yang dirangkum oleh Republika.co.id, 

1. Penggunaan Istilah Pribumi.

Dalam pidatonya Anies Baswedan sempat menggunakan istilah kata Pribumi. Sejumlah pihak menilai pidato Anies itu mendeskreditkan pihak tertentu. Mantan menteri pendidikan ini pun dilaporkan kepolisi oleh salah satu ormas.

Dalam penjelasannya, Anies menjelaskan, konteks kata Pribumi adalah era kolonialisme sebelum kemerdekaan. “Istilah itu digunakan untuk konteks pada saat era penjajahan,” kata dia di Balai Kota DKI, Selasa (17/10).

Anies mengatakan, Jakarta adalah kota yang paling merasakan penjajahan. Warga Ibu Kota menyaksikan langsung orang Belanda yang menjajah Indonesia. Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang berada di daerah. Meski tahu adanya penjajahan di Indonesia, kata dia, tapi yang langsung menyaksikan adalah warga Jakarta.

“Yang lihat Belanda dari jarak dekat siapa, orang Jakarta. Coba kita di pelosok-pelosok Indonesia, tahu ada Belanda. Tapi lihat depan mata? Nggak. Yang lihat depan mata itu kita yang di Kota Jakarta,” ujar dia.

Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu menganggap pernyataannya dipelintir oleh beberapa media. Beberapa di antaranya, kata dia, sudah mengoreksi dari berita sebelumnya. Dia berharap, semua media mengoreksi pemberitaannya jika tidak sesuai dengan apa yang diucapkan.

2. Reklamasi Teluk Jakarta

Gubernur Terpilih Anies Baswedan mengaku tetap menolak reklamasi Teluk Jakarta. Hal itu sesuai dengan janji kampanyenya. Sikap Anies itu bersebrangan dengan Menko Maritim Luhut B. Panjaitan yang menilai sikap Gubernur DKI itu rawan gugatan dari pengembang karena melanggar aturan.

“Kalau sesuai aturan ya kita ikuti. Tidak ada kepentingan saya di situ. Kalau aturannya memang demikian, kita hidup dengan aturan, bukan emosi dan sekadar wacana. Saya sesuai kewenangan saya ya saya kerjakan. Kalau mau dia hentikan, dia batalkan, ya silakan saja,” kata Luhut.

Menurut Luhut, keputusan untuk mencabut moratorium Reklamasi Teluk Jakarta dilakukan bukan tanpa alasan. Pencabutan itu dilakukan setelah pengembang memenuhi persyaratan yang diminta pemerintah guna melanjutkan proyek di Pulau C, D, dan G.

Ia juga menjelaskan pencabutan moratorium itu dilakukan atas surat yang dikeluarkan Menko Maritim sebelumnya, Rizal Ramli, setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memberikan persetujuan untuk mencabut semua sanksi pengembang karena telah memenuhi persyaratan. Luhut menambahkan, keputusannya mencabut moratorium juga sesuai kewenangannya sebagai Menko Maritim.

“Itu ada batas-batas kewenangan kita, jangan kita pikir kita ini bisa langsung all the way ke langit. Saya sebagai menko pun ada batasan. Presiden ada batasan. Gubernur pun ada batasan, jangan mikir jadi Gubernur DKI bisa segala macam,” katanya.

3. Djarot tak Hadir Sertijab

Ketidakhadiran Gubernur DKI sebelumnya Djarot Hidayat pada acara sertijab memicu kontroversi. Djarot menganggap ia tak diundang. Hal itu didukung oleh sejumlah politikus PDIP.

Namun tak sedikit yang mencibir Djarot karena dinilai tak bersikap dewasa.  Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie menyayangkan sikap mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat yang tidak menghadiri acara serah terima jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
“Sebaliknya kita juga harus menyesalkan ya sikapnya yang kekanak-kanakan, masak ia liburan di acara serah terima jabatan. Liburan pribadi bawa anak istri, dia kan tokoh Nasional sudah menjadi salah satu ketua DPP PDIP, sangat disayangkan sikapnya kayak begitu,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini saat ditemui di Kantor ICMI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu (18/10).

Karena itu, Jimly menilai bahwa kedua kubu Ahok-Djarot maupun Anies-Sandi sebenarnya masih belum bisa melupakan perseteruan di Pilkada DKI Jakarta lalu. “Jadi dua-duanya sama-sama belum move on. Baik Djarot-Ahok maupun Anies-Sandi masih belum move on dua duanya gitu loh. Dan kalau para tokohnya belum move on apalagi pendukungya, maka disayangkan. Jadi kalau sudah menduduki jabatan, jabatan itu harus menjadi sarana untuk mengabdi untuk kepentingan semua,” kata Jimly.

 

Sumber  ( Republika.co.id )

Tinggalkan Balasan