Aktifis Sosial – Budaya, Hukum – HAM dan Pendidikan – Kesehatan di Papua
Bagaimana tidak, dalam acara suci umat kristiani “Natal” yang dihelat pada 28 Desember 2014 silam bertempat di stadiun sepak bola Mandala, di hadapan hampir 5 ribuan orang, Jokowi ‘mengobral’ janji politiknya untuk menyelesaikan kasus paniai berdarah yang menewaskan empat orang pelajar dan belasan lainnya luka-luka.
Seperti dilansir BBC, Jokowi saat kampanye pada saat itu berjanji akan menyelesaikan kasus itu, dan ia mau agar setiap kasus apapun yang terjadi akan diselesaikan dengan jalan dialog yang damai.
“Saya berempati terhadap keluarga korban kekerasan. Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Kita ingin, sekali lagi, tanah Papua yang damai,” tutur Jokowi kala itu.
Lantas, bagaimana realisasi janji Jokowi yang manis dan muluk itu; ketika rakyat Papua memberi kepercayaan dengan harapan akan memperoleh sosok Presiden sebagai reinkarnasi Gusdur ‘the new Gusdur’ yang akan mendengar isi hati, menghapuskan air mata dan akan berdialog dengan mereka guna mencari suatu jalan penyelesaian masalah yang final dan komprehensif di Papua?
Kenyataannya justru terbalik. rakyat Papua yang telah memberikan 2 juta suaranya untuk Jokowi pada Pilpres 2014 menerima suguhan realita pahit alias dibohongi.
Jokowi tidak sama sekali menyinggung kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada selama empat tahun masa pemerintahannya. Jangankan menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu atau yang terjadi di depan mata-kupingnya selama jadi presiden, Jokowi justru menambah lembaran luka baru bagi orang Papua. Kita tentu ingat jelas bagaimana semasa pemerintahan Jokowi eskalasi penangkapan, pemenjarahan, penyiksaan meningkat tajam di Papua hingga di pulau Jawa.
Lewat rilis MSN.com bertajuk: ‘Jokowi Dinilai Gagal Tuntaskan Kasus HAM di Papua,’ Amnesty Internasional mencatat telah terjadi 69 kasus pelanggaran HAM di Papua hingga akhir tahun 2018. Kasus tertinggi tercatat pada 2016 silam dengan penangkapan sewenang-wenang terhadap lebih dari 5 ribu demonstran di Papua.
Dari kasus-kasus itu, justru ada kesan impunitas terhadap para terduga pelanggar HAM yang dilakukan Jokowi sebagai panglima tertinggi keamanan dan penanggung jawab tertinggi keamanan (commander responsibility) di Indonesia.
Sementara dalam catatan Kontras, ada 163 kasus penyiksaan pada 2016-2017 yang dilakukan oleh polisi dan TNI.
Media terkemuka Tirto.id merilis bagaimana berbagai pihak berkesimpulan bahwa Jokowi gagal melaksanakan nawacita khususnya menegakan hukum, Demokrasi dan HAM untuk menuju Indonesia yang berkeadilan.
Dalam berita berjudul: Menagih Janji Jokowi Menuntaskan Pelanggaran HAM Berat, Jokowi dinilai lemah dalam menangani kasus-kasus HAM masa lalu karena adanya para suspect pelanggar HAM dalam kabinet kerja Jokowi-JK.
Seruan Golput dan Boikot
Berbagai aspirasi dan pernyataan sinis mulai terdengar di kalangan rakyat Papua untuk memilih posisi golput atau boikot Pilpres 2019.
Pernyataan ini sebagai diskursus atas kegagalan pemerintah Jokowi menyelesaian berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua. Terlebih sebagai ekspresi kekecewaan atas pengingkaran janji Jokowi pada Desember itu.
Orang Papua sangat kecewa, sebab dalam acara natal yang besar, seorang capres negara besar yang berideologi Pancasila, di mana sila pertamanya menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa, namun terjadi penipuan (dosa).
Rakyat Papua memilih Jokowi saat itu, karena mereka percaya apabila Jokowi berjanji dalam suasana hari raya natal pasti akan diwujudkan karena saat itu hari raya keagamaan bukan acara/momen kampanye terbuka. Tetapi luar biasa, rakyat Papua ditipu.
Hingga memasuki akhir masa pemerintahannya Jokowi tidak pernah menepati Janjinya. Maka sebagai dampak dari itu, kini munculah seruan untuk melakukan golput atau memboikot pelakasanaan Pilpres di Papua.
Jika berani datang, maka Jokowi Tidak Tahu Diri. Secara tegas dalam beberapa berita yang dimuat di media lokal Papua, seperti Suarapapua.com mem-publish berita berjudul ‘Jokowi Tukang Tipu‘.
Jokowi bahkan disebut pengecut karena sudah berkali-kali melakukan pencitraan dengan mengobral janji penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua, tetapi diingkari semua. Oleh karena itu, akan bagaimana respon masyarakat jika pada tahun ini Jokowi datang lagi ke Papua untuk melakukan kampanye? Apakah rakyat Papua akan hadir untuk mendengar retorika kosongnya lagi? Kita tunggu saja.
Apa yang akan diungkapkan oleh para keluarga korban pelanggaran HAM yang hingga hari ini tidak bisa tidur, istirahat dan beraktivitas dengan normal karena masih dilingkupi trauma atas kekerasan yang mereka alami dan saudara mereka jika menyaksikan kedatangan Jokowi ke Papua untuk kampanye lagi.
Sudah tentu mereka akan bilang, Jokowi pembohong dan tidak tahu diri. [***]