Bahasa Simbol Motif Batik

Presiden Joko Widodo bertemu dengan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (25/10/2017)
Presiden Joko Widodo bertemu dengan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (25/10/2017).

KabarBerita.id, Sebuah busana bisa menjadi simbol—mewakilkan sebuah pesan yang tak tersampaikan lewat lisan. Simbol-simbol dalam busana seringkali memiliki makna  tertentu, yang dapat diinterpretasi dengan panca indera.

Salah satu busana yang sohor akan makna di balik simbol-simbol motif adalah batik. Sejak dulu, batik bukan sekedar dikenakan sebagai busana—namun memiliki makna tertentu di balik pemakaiannya. Dengan kata lain, menurut pakar batik Lintu Tulistyantoro, batik merupakan bahasa gambar.

“Misalnya, saat lamaran pria melamar menggunakan batik (motif) Satrio Manah. Makna dari motif batik ini supaya lamaran dapat diterima oleh pihak calon pengantin wanita beserta keluarganya,” kata Lintu saat dihubungi Kompas Lifestyle, Jakarta, Kamis (26/10/2017).

Dalam proses lamaran itu, jika menerima, pihak pengantin wanita biasanya memakai batik motif Semen Rante. Rantai sendiri menyiratkan sebuah ikatan yang kokoh, jadi harapannya bila lamarannya diterima, pihak pengantin wanita menginginkan ikatan yang kuat.

Ini menunjukkan bahwa batik bisa dipakai sebagai bahasa simbol yang disampaikan tidak secara lisan. Karenanya tidak semua motif tepat dikenakan pada sebuah acara, apalagi jaman dahulu.

Dikatakan Lintu, salah pemakaian batik bisa menciderai perasaan seseorang bahkan memunculkan suasana risih. Seperti penggunaan batik bermotif Slobog yang khusus untuk melayat, tapi dipakai dalam rangka menghadiri pesta pernikahan.

Slobog berarti longgar/besar. Makna yang terkandung di dalam motif batik ini agar arwah orang yang meninggal tidak mendapat halangan dan dapat diterima kebaikannya.

Kemudian penggunaan batik motif Parang juga terlarang di dalam Keraton. Pada konteks ini, masyarakat umum dilarang menggunakan batik motif Parang di dalam Keraton karena dikhususkan untuk keluarga Keraton semata—seperti raja, permaisuri, keturunannya hingga para bangsawan dan bupati.

Lantas, apakah saat ini penggunaan batik sebagai bahasa simbol masih tetap terjaga?

Lintu sangsi bila bahasa simbol batik masih dipegang teguh— kecuali oleh keluarga Keraton dan orang-orang yang memang paham betul soal makna di balik motif batik.

Misalnya, pada pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Istana Merdeka pada Rabu (25/10/2017) lalu. Lintu mengakui bahwa terlalu dini untuk melihatnya sebagai permainan bahasa simbol di antara keduanya.

Motif Parang yang dikenakan Anies juga disebut bukan murni parang karena campuran dengan motif lain seperti flora dan fauna. Meskipun Parang Barong dimaknakan sebagai kepemimpinan dan kewibawaan—namun masih belum bisa ditafsirkan apakah arti itu yang ingin disampaikan pada Jokowi.

Adapun motif batik Jokowi, diduga perpaduan antara Tirto Tejo—yang memiliki makna kerja, kerja dan Kapal—yang bermakna semangat mencapai tujuan. Namun Lintu ragu bila Jokowi asal menggunakan batik tanpa tahu di balik makna motif tersebut.

“Kalau seorang kepala negara enggak mungkin (pakai batik tanpa makna). Apalagi penyedia batiknya tidak asal comot. Dia akan mengerti makna batik yang dipakai Pak Jokowi. Pasti ada bahasa simbol, berbicara tentang bahasa makna. Apalagi dia orang Solo, enggak mungkin pakai karena alasan motif bagus saja,” katanya.

sumber : KOMPAS.COM 

Tinggalkan Balasan