Yth. Bapak Calon Presiden
Di Tempat
Perkenalkan, nama saya Tere Liye, penulis buku. Hingga hari ini, saya menulis 34 buku yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama dan Republika. Saya hanyalah satu diantara ribuan penulis lainnya di Indonesia, saya bukan penulis penting, pun bukan penulis terkemuka yang pernah dimiliki Indonesia. Tapi ijinkan saya menyampaikan beberapa konsen, yang mungkin bisa menjadi masukan atas program kerja pemerintahan kelak.
Saya jamin, saya bukan pendukung salah-satu calon presiden, pun tidak memiliki afiliasi politik dengan partai, kelompok, atau organisasi apapun. Konsen ini disampaikan atas dasar kebaikan bersama.
Bapak Calon Presiden,
Adalah data akurat bahwa penduduk Indonesia, 98% bisa membaca, kita sangat hebat dalam capaian ini. Tapi sejatinya, itu hanyalah angka ‘bisa membaca’. Berdasarkan World Bank’s Indonesia Economic Quarterly Report edisi Juni 2018, 55% penduduk Indonesia mengalami “buta huruf secara fungsional”, Apa artinya? Sederhana, dari enam level kemampuan membaca, penduduk Indonesia ternyata hanya mentok di level 1, kita ‘hanya bisa membaca’, tapi tidak mampu memahami bacaan, tidak bisa membuat kesimpulan, tidak mampu mencari ide pokok tulisan, bahkan tidak bisa membedakan apakah tulisan yang dibacanya mengandung kebenaran atau hoax, dan sebagainya, dan sebagainya.
Berdasarakan data World’s Most Literate Nations tahun 2016 yang disusun oleh Central Connecticut State University, Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Kita hanya beda satu urutan dengan Botswana. Belum lagi jika menyimak produksi buku per kapita, jumlah buku yang dibaca perkapita.
Adalah benar, penduduk kita 98% bisa membaca, tapi jika dilihat lagi lebih seksama, apakah anak-anak SD, SMP dan SMA kita suka membaca buku, berapa buku yang mereka baca dalam setahun, berapa persen dari mereka yang ‘tahan’ membaca tulisan sepanjang 5.000 kata, hasilnya akan sangat mencemaskan. Kita sangat sangat tertinggal.
Maka, itulah yang terjadi di media sosial kita hari ini, ketika hoax, berita-berita bohong, informasi-informasi dusta bisa beredar luas. Jangankan yang “buta huruf secara fungsional”, bahkan yang terdidik, punya kemampuan membaca tinggi sekalipun tetap bisa tertipu, atau malah menjadi pelaku hoax. Ini adalah realitas yang semestinya dicari jalan keluarnya.
Kita harus meningkatkan kemampuan membaca bangsa Indonesia. Dan itu artinya, mendesak bagi anak-anak kita, penting bagi generasi kita mulai banyak membaca buku. Anak SD, SMP dan SMA harus membaca minimal sekian buku dalam setahun, sekaligus meningkatkan kemampuan literasi mereka, bukan hanya menghabiskan waktu dengan gadget mereka. Jangan sampai, mereka lebih sering membaca facebook, twitter, Instagram, youtube, dibanding membaca buku.
Apakah isu ini penting sekali? Sangat penting. Bahkan kalaupun mereka bercita-cita menjadi selebgram, youtuber, gamer, dan profesi milenial lainnya, literasi tetap mendesak. Atau karir mereka hanya akan berusia pendek, tidak langgeng, ditelan oleh selebgram, youtuber, dan gamer profesional yang tahu sekali betapa pentingnya literasi untuk meningkatkan kemampuan mereka.
Oleh karena itu, lewat surat terbuka ini, ijinkan saya menyarankan beberapa hal berikut yang bisa dilakukan jika Bapak terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024:
- Hapus total PPN buku
Kondisi saat ini, ada beberapa jenis buku yang memang tidak lagi dikenakan PPN, tapi praktik di lapangan, tidak semudah yang dibayangkan. Maka, agar semua menjadi simpel, hapus total PPN buku—apapun jenis bukunya. Silahkan cek data di Kementerian Keuangan, total PPN buku sangat kecil dalam pendapatan negara. Menghapusnya tidak akan membuat pemerintahan kesulitan pendanaan pembangunan, malah sebaliknya, itu akan menguntungkan calon pembaca buku. Karena buku akan lebih murah 10%.
2. Jadikan pajak royalti bersifat final dengan tarif 5%
Kondisi hari ini, setiap penulis dikenakan pajak royalti dengan tarif 15%. Pajak ini bisa dikreditkan saat menghitung SPT tahunan, dan penulis bisa menggunakan NPPN (Norma Penghitungan Pajak Netto). Jika kita sepakat bahwa literasi sangat penting, maka tentu tidak akan sulit untuk mengubah peraturan ini. Jadikan pajak royalti bersifat final dengan tarif maksimal 5%. Ini akan menyederhanakan pajak bagi penulis. Lagi-lagi, menurunkan tarif pajak royalti penulis, serta mengubah sifatnya menjadi final, tidak akan membuat pemerintah kesulitan, karena angkanya sangat kecil, tidak signifikan. Tapi jelas akan memberikan insentif bagi penulis Indonesia, yang sebagian besar diantara mereka bahkan tidak bisa mencukupi kehidupannya hanya dengan menulis.
3. Revitalisasi perpustakaan sekolah
Pasal 23 (6) UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan telah mewajibkan 5% anggaran sekolah harus digunakan untuk perpustakaan. Tapi realita di lapangan, ada banyak sekolah yang justeru tidak memiliki perpustakaan. Meskipun kita tidak bisa menutup mata, juga ada sekolah yang tidak hanya perpustakaannya baik sekali, mereka bahkan memiliki pojok literasi di setiap kelas. Pemerintah harus memastikan peraturan ini dilaksanakan dengan disiplin, sehingga semua sekolah bisa memiliki perpustakaan yang seru bagi murid-muridnya, bukan hanya tumpukan buku kecokelatan, bau, sama sekali tidak mengundang selera didatangi. Pemerintah bisa menambah dana BOS atau BOSDA khusus untuk revitalisasi perpustakaan sekolah.
4. Berikan insentif kepada industri buku
Kita selalu bicara tentang subsidi BBM, listrik. Kita juga selalu bicara tentang harga bahan pangan murah, sembako murah, tapi entah mulai kapan kita mau memikirkan tentang ‘buku murah’. Bagaimana mungkin anak-anak kita, generasi kita akan menyukai membaca buku jika perpustakaan tidak ada, akses buku susah, harga buku pun ternyata mahal. Adalah fakta, hanya kota-kota besar saja yang memiliki toko buku yang baik. Hal ini tentu bisa diatasi dengan keberadaan toko online, tapi apapun itu, isu terpentingnya adalah mari mulai memikirkan tentang ‘buku murah’, agar dari manapun calon pembaca membelinya, mereka bisa memperoleh harga murah.
5. Wajibkan pemerintah daerah serta BUMN untuk menggelar festival literasi dan pameran buku secara berkala.
Pertunjukan musik, konser, dan acara sejenisnya jauh lebih banyak dibanding festival literasi dan pameran buku. Kita dengan mudah menemukan spanduk acara musik dibanding spanduk acara literasi. Apa penyebabnya? Sederhana, pertunjukan musik lebih menjual dibanding acara literasi. Tapi jika sepakat bahwa literasi penting bagi peradaban, maka sudah saatnya sedikit mengubah keseimbangan. Wajibkan pemerintah daerah, serta BUMN untuk menggelar festival literasi dan pameran buku di daerah-daerah secara berkala. Ini bukan hanya soal ‘pesta’, ‘festival’, itu akan membangkitkan gairah membaca bagi generasi muda. Dan jika beruntung, bisa menjadi pusat kegiatan wisata yang menarik.
6. Berantas buku bajakan
Nasib penulis di Indonesia itu tidak mudah. Selain menghadapi rendahnya minat baca, rendahnya penjualan, tingginya pajak, mereka juga harus menerima fakta, buku-buku mereka dibajak. Terlebih dengan hadirnya toko online, buku-buku bajakan dijual dengan sangat bebasnya di website e-commerce terkemuka seperti tokopedia, bukalapak, shopee, dll. Saya percaya, website e-commerce ini juga memerangi toko-toko yang menjual produk illegal, tapi tanpa keterlibatan pemerintah, tidak mudah bagi mereka memerangi produk buku bajakan.
Bapak Calon Presiden,
Kurang lebih demikian konsen yang hendak saya sampaikan. Di tengah hingar-bingar kontestasi pemilihan presiden, di tengah ramainya narasi, program kerja, kampanye dan sebagainya yang disampaikan oleh tim Bapak, semoga masih ada ruang untuk memikirkan tentang literasi bangsa kita. Agar anak-anak kita tidak hanya ‘bisa membaca’, tapi mereka bisa memahami komprehensif tulisan yang mereka baca, bahkan bisa mengubahnya lagi menjadi sesuatu yang lebih bertenaga, penuh inspirasi dan kebermanfaatan.
Saya sungguh percaya, tiang kokoh peradaban adalah literasi. Kita mewariskan pengetahuan, nilai-nilai luhur, teknologi, apapun itu melalui literasi. Sesuatu yang kita ‘tuliskan’, kemudian dibaca oleh anak cucu kita kelak.
Bandung, 3 Januari 2019
Tere Liye