Kabarberita, Jakarta, Orang yang berbohong terus-menerus hingga menjadi suatu kebiasaan sering dikaitkan dengan gangguan psikologis di mana dirinya sendiri percaya akan kebohongan yang dibuatnya. Kondisi ini mengingatkan pada Dwi Hartanto, yang baru-baru ini mengaku berbohong tentang prestasinya. Tetapi, lagi-lagi diagnosis itu harus melewati serangkaian pemeriksaan psikologis.
Kalau begitu, jangan asal melabeli seseorang dengan gangguan mythomania jika ketahuan berbohong. Menanggapi hal tersebut, psikiater dari RS Jiwa Dharmawangsa, dr Tun Kurniasih Bastaman, SpKJ(K) mengatakan bahwa bohong memiliki arti yang cukup luas.
“Dasarnya sama yaitu berkata tidak benar atau tidak sesuai dgn kenyataan. Bohong kalau ketahuan dan dikonfrontasi akan mengakui. Bohong bisa ‘digunakan’ individu untuk menutupi kesalahan karena rasa malu, atau takut, atau kehilangan harga diri kalau berbuat salah,” ujarnya kepada detikHealth, Senin (9/10/2017).
Berbeda lagi dengan mythomania, menurut dr Tun orang yang mengidap mythomania merasa dirinya kurang berharga atau dihargai sehingga membuat bualan yang dibesar-besarkan.
“Kalau menjadi kebiasaan yang menetap dilakukan terus-menerus, akan menjadi karakter,” imbuh dr Tun.
Sementara itu, psikolog Ratih Zulhaqqi, M.Psi berbagi apa saja yang menjadi gejala dari gangguan psikologis ini, yaitu:
– Sering kali mengemukakan sesuatu yang tidak benar.
– Mencari perhatian orang lain dengan segala cara, termasuk berbohong agar terlihat sempurna.
– Tidak bisa membedakan dirinya sedang berbohong atau tidak.
– Tidak menyadari bahwa dirinya sedang berbohong.
– Karena sudah menjadi kebiasaan, ia berbohong secara otomatis, tidak direncanakan.
“Kalau bohong biasa atau bukan patologis, enggak keterusan. Misalnya, saya tidak datang ke rumah teman dan beralasan sakit perut. Sudah, hanya saat itu, tidak keterusan. Tetapi kalau bohong yang patologis (mythomania), dia sendiri enggak sadar kalau dia bohong,” tutup Ratih.