Polusi Udara Ternyata Bisa Sebabkan Kualitas Air Mani Jadi Jelek

Jakarta, KabarBerita.id — PolusiĀ udara tak hanya berakibat pada kesehatan dan juga wajah. Menurut penelitian, polusi udara bisa memengaruhi kualitas air mani, khususnya motilitas sperma.

Motilitas sperma adalah kemampuan sperma untuk berenang ke arah yang benar – menurut sebuah studi baru yang menganalisis sperma lebih dari 30 ribu pria di Tiongkok.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal JAMA Networks juga menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel polusi di udara, semakin besar kaitannya dengan kualitas air mani yang buruk.

“Temuan kami menunjukkan bahwa fraksi ukuran partikel yang lebih kecil mungkin lebih kuat dibandingkan fraksi yang lebih besar dalam menginduksi motilitas sperma yang buruk,” tulis para penulis makalah.

Para peneliti percaya bahwa temuan ini menyoroti alasan lain mengenai perlunya mengurangi paparan polusi udara di kalangan pria usia reproduktif.

Para peneliti telah lama mencoba untuk mengetahui apakah ada hubungan antara polusi udara dan kualitas sperma, namun masih belum jelas apakah polusi udara berdampak buruk pada kesehatan kesuburan pria lantaran hasil penelitian sering kali tidak konsisten dan rumit untuk dijadikan perspektif.

Tampaknya ada alasan untuk meyakini bahwa polusi dapat berdampak negatif terhadap kesuburan secara umum. Hal ini dikemukakan dalam tinjauan literatur internasional yang diterbitkan pada Desember 2021 lalu.

Mengutip Guardian, para peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Tongji di Shanghai mengamati catatan data dari total 33.876 pria dari 340 kota di Tiongkok, rata-rata berusia 34 tahun, dengan tingkat paparan polusi udara yang bervariasi, dan yang istrinya hamil antara Januari 2013 dan Desember 2019.

Mereka kemudian mencari pola antara kualitas air mani dalam kaitannya dengan apakah para peserta telah terpapar pada jumlah partikel yang berdiameter lebih kecil dari 2,5 mikrometer, antara 2,5 dan 10 mikrometer, dan 10 mikrometer, di berbagai momen penting selama 90 hari sebelum kunjungan mereka ke rumah sakit untuk ejakulasi air mani.

Untuk menentukan kualitas air mani, para peneliti berkonsentrasi pada faktor-faktor seperti jumlah sperma, konsentrasi, dan motilitas sperma.

Meskipun para peneliti tidak dapat menemukan hubungan yang signifikan antara polusi udara dan kualitas sperma dalam hal jumlah atau konsentrasi sperma – mereka menemukan bahwa semakin banyak peserta terpapar pada partikel yang lebih kecil, semakin rendah progresif dan total motilitas sperma.

Motilitas sperma progresif adalah kemampuan sperma untuk berenang ke depan, sedangkan motilitas sperma total mengacu pada kemampuan sperma untuk berenang secara umum.

Bila terkena partikel yang diameternya lebih kecil dari 2,5 mikrometer diperkirakan terjadi penurunan motilitas sperma sebesar 3,6 persen, sedangkan bila terkena partikel berdiameter 10 mikrometer, motilitas sperma berkurang 2,44 persen.

Artinya fraksi ukuran partikel yang berbeda mungkin memiliki efek yang berbeda terhadap kualitas air mani, mungkin karena semakin kecil partikel tersebut, semakin besar kemungkinannya untuk masuk lebih dalam ke paru-paru manusia.

Data menunjukkan bahwa dampak polusi lebih besar ketika paparan terjadi pada awal 90 hari pembentukan sperma – fase yang disebut spermatogenesis – dibandingkan dua fase lainnya.

Menurut para peneliti, hal ini mungkin berarti bahwa partikel mempengaruhi sperma pada tingkat genetik, tetapi ini hanyalah spekulasi, dan masih banyak penelitian yang harus dilakukan mengenai hal ini.

“Kemungkinan adanya hubungan antara polusi udara dan kualitas air mani telah dikemukakan dalam sejumlah penelitian selama bertahun-tahun, meski tidak semuanya setuju dengan kesimpulan ini,” kata Allan Pacey, profesor andrologi di Universitas Sheffield, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

“Makalah ini menambah dasar bukti yang menunjukkan bahwa hubungan tersebut nyata, dan sangat mengesankan karena menggunakan data kualitas air mani dari lebih dari 30.000 pria.”

“Namun tingkat penurunan motilitas sperma tampaknya cukup rendah,” kata Pacey seraya menekankan bahwa korelasi bukanlah sebab akibat sehingga diperlukan penelitian tambahan.

Tinggalkan Balasan