WASHINGTON DC, Kabarberita.id – “Perbaikilah atap rumah, ketika matahari sedang bersinar cerah,” ujar Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-WB yang berlangsung di Washington DC, Amerika Serikat, pertengahan Oktober 2017.
Pesan itu disampaikan oleh salah satu wanita berpengaruh di dunia saat ini dalam menanggapi kondisi perekonomian dunia yang sedang membaik dan mengalami kemajuan (upswing), setelah dalam beberapa tahun terakhir dilanda kelesuan.
Dalam publikasi “World Economic Outlook” terbaru, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,6 persen pada 2017 dan akan meningkat menjadi 3,7 persen pada 2018.
Meski demikian, Lagarde mengingatkan bahwa perbaikan ekonomi ini masih menghadapi sejumlah risiko, dan tantangan selanjutnya adalah dengan “memperbaiki atap rumah” yaitu membuat kebijakan agar pemulihan ini bertahan lama.
Inilah waktu yang tepat bagi pemangku kepentingan untuk melahirkan kebijakan yang dapat membuat masyarakat maupun negara dapat mengambil keuntungan dari pemulihan agar situasi ini bertahan lama.
Dalam kebijakan fiskal, misalnya, Lagarde menyarankan negara yang memiliki anggaran sehat agar mendorong investasi dalam bidang infrastruktur dan sektor pendidikan serta memperkuat sistem jaring pengaman sosial.
Selain itu, upaya melakukan reformasi struktural secara berkelanjutan menjadi penting, karena reformasi yang diupayakan dalam kondisi pemulihan seperti saat ini, dapat berlangsung lebih mudah dan efisien.
Deputy Director Asia and Pacific Departement IMF Kenneth Kang mengatakan reformasi struktural yang berkelanjutan dapat bermanfaat untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Reformasi struktural sangat penting untuk meningkatkan kualitas iklim investasi, kata Kang dalam jumpa pers pemaparan IMF atas proyeksi regional kawasan Asia dan Pasifik.
IMF memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2017 dapat tumbuh pada kisaran 5,2 persen dan meningkat menjadi 5,3 persen pada 2018 didukung oleh peningkatan permintaan eksternal dan belanja fiskal yang ekspansif.
Ia menjelaskan reformasi struktural itu bisa mendorong minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia dan meningkatkan kontribusi investasi dalam pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, upaya lainnya yang bisa dilakukan terkait reformasi struktural tersebut adalah dengan melakukan deregulasi atas berbagai kebijakan yang rumit untuk mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja bagi generasi muda.
Hal ini juga bisa didukung oleh perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan serta perbaikan regulasi pada sistem tenaga kerja.
Meski demikian, dalam jangka pendek, upaya untuk mempertahankan kestabilan perlu dilakukan agar fundamental ekonomi tidak goyah, yaitu dengan menjaga kepercayaan pasar dan sentimen publik.
Tanggapan Pemerintah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyambut baik proyeksi pertumbuhan ekonomi global Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 3,6 persen pada 2017 dan sebesar 3,7 persen pada 2018.
Ia menjelaskan proyeksi perekonomian global tersebut lebih positif dari yang diperkirakan karena saat ini terjadi momentum pertumbuhan yang cukup kuat akibat adanya perbaikan kinerja investasi dan perdagangan internasional.
Namun, IMF juga mengingatkan adanya risiko yang bisa mengganggu terjadinya pemulihan dan memberikan kewaspadaan terhadap bahaya yang sewaktu-waktu bisa mengganggu kinerja positif ekonomi saat ini.
Risiko tersebut antara lain pemulihan yang belum cukup kuat karena belum didukung oleh kenaikan produktivitas, ancaman dari pembalikan modal karena normalisasi kebijakan moneter dari negara-negara maju dan krisis geopolitik.
Proyeksi ini memberikan arah pandangan dan menjadikan kita mempunyai peduli terhadap risiko, kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.
Untuk itu, setiap negara diharapkan bisa membuat kebijakan yang bisa memperkuat fundamental, pada saat penguatan ekonomi sedang terjadi, termasuk diantaranya reformasi fiskal di bidang penerimaan dan belanja.
Sri Mulyani memastikan proyeksi dari lembaga multilateral ini bisa membuat pemerintah berbenah terhadap kualitas penyusunan dan pelaksanaan kinerja APBN serta memantau pergerakan yang terjadi di negara maju.
Setelah melihat prediksi ekonomi ini, pemerintah bisa memperbaiki kualitas APBN dan melihat risiko serta kesempatan dari kebijakan negara maju.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menambahkan kondisi perekonomian dunia yang tumbuh kuat membuat pemerintah berani untuk menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi di 2018 sebesar 5,4 persen.
“Terlihat adanya penguatan (upswing) dalam perekonomian dunia, ini menyebabkan titik bawah di 2016 sudah terlewati. Meski negara maju masih ada ketidakpastian, namun tren di ‘emerging’ seperti Indonesia sudah naik,” kata Suahasil.
Menurut Suahasil, hal yang dapat dilakukan pemerintah agar proyeksi tersebut tercapai tahun depan adalah dengan terus menjaga dan memperkuat momentum ekonomi yang sedang tumbuh positif.
Sektor konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor yang tumbuh kuat pada semester I-2017 bisa melanjutkan trennya dan berdampak kepada kinerja pertumbuhan ekonomi pada 2018.
“Tentu masih ada risiko seperti ekonomi China yang ‘rebalancing’, harga komoditas yang sebagian masih fluktuasi, normalisasi kebijakan moneter di AS, geopolitik di Asia Timur dan perubahan iklim,” ungkap Suahasil.
Terlalu ambisius Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati menilai proyeksi pertumbuhan 5,4 persen pada 2018 sulit tercapai, karena target penerimaan pajak belum didukung oleh kebijakan ekstensifikasi maupun intensifikasi yang signifikan.
Melihat strategi arah kebijakan pajak masih biasa saja maka akan kontraproduktif pada perekonomian sehingga mencapai 5,4 persen juga tidak mudah ketika struktur penerimaannya masih sama, ujarnya.
Target penerimaan pajak yang tinggi yaitu sebesar Rp1.424 triliun dapat menciutkan nyali pelaku usaha dalam melakukan ekspansi, sehingga mengakibatkan perekonomian secara umum stagnan.
Untuk itu, upaya akselerasi ekonomi dapat dimulai dari relaksasi sisi perpajakan guna menghindari stagnasi pertumbuhan ekonomi di angka lima persen dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, Indef menilai tantangan perekonomian lainnya di 2018 adalah pemilihan kepala daerah secara serentak di 171 daerah yang dapat berpengaruh kepada sektor konsumsi rumah tangga dan lembaga non profit yang melayani rumah tangga.
Tahun politik ini bisa membuat dunia usaha menunda untuk melakukan kegiatan bisnis, sembari menanti kepastian atas munculnya pemimpin baru atau petahana di daerah.
Hal tersebut menyebabkan kondisi ekonomi nasional kemungkinan baru menggeliat pada semester II-2018. Meski demikian, tantangan selanjutnya adalah tahun politik berskala nasional yang menanti di 2019 yaitu pemilihan Presiden.
Berbagai tantangan tersebut bisa mengganggu penguatan fundamental ekonomi dan reformasi struktural yang telah berjalan baik seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi global.
Pesan musim gugur dari Washington sudah tertanam dengan jelas kepada benak para pemangku kepentingan, bahwa mitigasi harus disiapkan, meski “matahari sedang bersinar cerah”.
Untuk itu, kebijakan fiskal, moneter maupun reformasi struktural harus bersinergi lebih erat agar momentum positif ini tidak terbuang sia-sia dan masyarakat bisa menikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi.