Viral  

Nyaris Ateis, Jadi ‘Intel’ Belanda, dan Piagam Jakarta

 

Jakarta – Haji Agus Salim mengecap pendidikan Barat di masa mudanya dan menjadi lulusan terbaik di Horgere Burgerschool (HBS). Ia nyaris menjadi ateis hingga bertemu guru agama di Jeddah.

Salim boleh dikatakan beruntung dapat mengecap pendidikan formal semasa muda. Bapaknya, Soetan Salim, seorang jaksa pemerintah Hindia Belanda di Riau. Status bapaknya inilah yang membuat gerbang sekolah pendidikan Barat terbuka untuknya.

Ia diterima di Europeese Lagere School (ELS) dengan nilai memuaskan dan melanjutkan pendidikan ke HBS di Batavia. Di HBS-pun prestasinya gemilang sehingga ia mendapat predikat lulusan terbaik pada 1903. Namun pendidikan Barat ini mempengaruhinya dalam beragama: ia nyaris menjadi ateis.

“Ada cerita kalau dia mau jadi ateis karena tidak pernah menimba ilmu agama ketika sekolah,” ucap sejarawan Universitas Indonesia Rushdy Hoesein kepada detikcom, Minggu (8/10/2017).

Kisah Salim yang nyaris menjadi ateis ini pun terekam dalam artikel Kustiniyati Mochtar dalam buku ‘Seratus Tahun Haji Agus Salim’ terbitan Sinar Harapan, 1996. Salim merasakan bangku sekolah saat menginjak 13 tahun ketika Belanda mulai membuka pendidikan formal bagi pribumi.

Profesor Snouck Hurgronje tengah membuat percobaan merangkul pribumi melek pendidikan agar memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Di balik itu, kebijakan Snouck adalah menjauhkan pribumi dari ajaran Islam melalui pendidikan Barat. Kehidupan Salim sendiri tak bisa berpegang pada satu ajaran agama pun.

Pendidikan agama baru ia terima ketika bekerja di Jeddah sebagai dragoman (ahli penerjemah) di Konsulat Belanda di Jeddah. Ibu Salim, Siti Zainab, memintanya bertemu dengan seorang paman, yakni Syech Ahmad Khatib. Ia merupakan ulama pembaharu dan duduk sebagai imam serta guru besar Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. “Demikianlah Agus Salim berguru pada pamannya,” tulis Kustiniyati.

Salim tak menjadi murid yang sekadar menerima fatwa guru semata. Ia selalu bertanya kepada Syech Ahmad dan mencari penjelasan logis. Makanya, pemahaman agama Salim pun disertai pengertian ilmu pengetahuan.

Pulang dari Arab Saudi, Salim sempat bekerja di kantor Pekerjaan Umum pemerintah Hindia Belanda (Bureau voor Operbare Werken). Namun pekerjaan ini tak bertahan lama, Salim memutuskan keluar.

Mohamad Roem, dalam buku ‘Manusia dalam Kemelut Sejarah’ terbitan LP3ES, 1978, mengungkapkan persentuhan Agus Salim dengan dunia pergerakan nasional baru terjadi karena permintaan seorang teman yang menjabat Datuk Tumenggung (penasihat urusan bumiputera bagi pemerintah Hindia Belanda). Pemerintah saat itu menginginkan data perkembangan Sarekat Islam dan HOS Tjokroaminoto yang tengah melejit di antara menjamurnya organisasi pergerakan nasional.

“Kontak saya yang pertama dengan Sarekat Islam dan caranya mungkin agak merugikan nama saya juga,” tulis Roem.
Saat itu Perang Dunia I berkecamuk, kapal perang Jerman berkeliaran. Rumor pun merebak, Tjokro dikabarkan sepakat melakukan revolusi melawan Hindia Belanda dan menerima 150.000 gulden dari Jerman. Ada laporan kapal Jerman membawa 40.000 pucuk senjata.

Salim mendekati Tjokro melalui seorang teman yang berkedudukan sebagai pegawai tinggi. Ia pun melihat sendiri ‘sihir’ Tjokro dielukan dalam pertemuan yang diikuti 50.000 orang lebih di Jawa Timur. Saat Tjokro berjalan, mereka berjongkok di tanah dan mencium kakinya.

Salim pun mengirim kabar kepada Datuk Tumenggung bahwa ia memutuskan masuk SI. Enam minggu kemudian, ia bertemu dengan Datuk Tumenggung. Mereka mengira Salim masuk SI untuk menjadi mata-mata, namun ia mengaku benar-benar masuk ke SI karena berminat, bukan untuk menyusup.

Jejak langkah Salim pun menapak di pergerakan nasional. Ia menjadi rekan Tjokro di SI. Keterlibatannya berpihak kepada Tjokro juga tampak ketika SI terbelah menjadi merah dan putih karena pengaruh komunis. Karier di pergerakan nasional ini pulalah yang membawanya masuk ke Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda).

Selain dalam pergerakan, Agus Salim terlibat dalam berbagai penerbitan surat kabar yang jatuh-bangun, di antaranya Hindia Baroe di Jakarta, Fadjar Asia, dan Harian Moestika, serta membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).

Menjelang kemerdekaan, Salim duduk sebagai anggota Panitia Sembilan, panitia kecil dari Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (PPUPKI), yang menyusun rumusan dasar negara Piagam Jakarta (Jakarta Charter).

Ia duduk bersama Sukarno, Mohammad Hatta, Alexander Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Moehammad Yamin. “Di situ Agus Salim mewakili kalangan agama,” ujar Rushdy Hoesein.

Susunan inilah yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 dan menjadi Pancasila. Kelak sila pertama diubah dari ‘Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya’ menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
(jat/erd)

Tinggalkan Balasan