REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dewanto Somodra *)
Satu angkutan kota baru saja berjalan dari stasiun dengan membawa penumpang yang berdesakan, kebanyakan anak-anak berseragam sekolah dan perempuan. Mereka terlihat menutup hidung. Bukan karena di dalam angkutan kota itu tercium bau yang tidak sedap, melainkan karena sopir mengemudikan angkutan kota sambil merokok.
Pemandangan seperti di atas seringkali terlihat di dalam angkutan kota di kota-kota besar, termasuk Jakarta, yang sebenarnya sudah memiliki peraturan gubernur yang menyatakan angkutan umum sebagai kawasan tanpa rokok. Namun, aturan tinggal aturan. Orang-orang hanya “takut” melanggar aturan bila ada petugas atau ketika hukum ditegakkan.
Aturan hanya akan menjadi huruf-huruf di lembar kertas peraturan tanpa dipatuhi ketika tidak ada petugas yang bersiap menangkap pelanggar. Sudah tertangkap saat melanggar saja, kadang para pelanggar masih ngotot dan merasa tidak bersalah.
Belum lama ini, lini masa media sosial juga sempat diramaikan dengan berita tentang satu keluarga yang diturunkan paksa dari sebuah rangkaian kereta api karena salah satu anggotanya merokok di dalam kereta, meskipun sudah ada pemberitahuan bahwa kereta api bebas rokok.
Saat Ignasius Jonan menjabat sebagai Menteri Perhubungan, aturan larangan merokok di dalam rangkaian kereta dan stasiun diberlakukan dengan ketat yaitu di seluruh rangkaian kereta api tidak diperkenankan merokok sedangkan di sejumlah stasiun ada ruang khusus untuk merokok atau tidak ada sama sekali. Ancaman sangat tegas bagi penumpang yang kedapatan merokok di atas kereta, yaitu diturunkan di stasiun terdekat tanpa ada penggantian tiket.
Kejadian penumpang diturunkan dari rangkaian kereta sebenarnya bukan yang pertama, tetapi tampaknya juga bukan akan menjadi yang terakhir.
Sebelumnya, sudah ada berita maupun video yang viral di media sosial tentang seseorang yang diturunkan dari rangkaian kereta karena merokok.
Namun, pelanggaran masih saja terjadi. Ada sebagian orang yang berujar bahwa “peraturan ada memang untuk dilanggar”. Maka kejadian penumpang yang diturunkan dari rangkaian kereta karena merokok kembali terulang.
Rokok bukanlah barang ilegal di Indonesia. Aktivitas merokok juga bukanlah tindakan pelanggaran hukum apabila dilakukan bukan ditempat terlarang. Namun, karena sifatnya yang adiktif dan berbahaya, maka untuk membatasinya antara lain penjualan rokok pun dikenai cukai dan iklan rokok juga diatur dengan persayaratan yang ketat, tidak diperkenankan mempertontonkan gambar orang merokok.
Salah satu cara untuk membatasi konsumsi rokok adalah dengan penerapan kawasan tanpa rokok. Kawasan tanpa rokok disediakan untuk melindungi masyarakat khususnya dari bahaya asap rokok, terutama bagi mereka yang tidak merokok dan berpeluang menjadi perokok pasif.
Rokok bila tidak dibatasi, berpeluang mengancam tujuan bernegara yang sudah disepakati oleh para pendiri negara.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Bila rokok tidak dibatasi, maka kesejahteraan umum tidak akan tercapai. Sudah kerap diberitakan, kebanyakan perokok adalah masyarakat termiskin, yang pengeluaran terbesar keduanya adalah untuk membeli rokok, mengalahkan belanja untuk pemenuhan gizi dan pendidikan anak-anak mereka.
Warga yang saat ini tergolong miskin, akan sulit membawa anak-anaknya keluar dari kemiskinan bila tidak bisa memberikan gizi yang cukup dan pendidikan yang baik, bila anggaran untuk pemenuhan gizi dan pendidikan dikalahkan untuk membeli rokok.
Pemerintah diharapkan lebih memperketat konsumsi rokok serta membatasi promosi rokok yang bisa menyasar dan mempengaruhi generasi muda untuk merokok.
Mayoritas dunia atau 180 negara saat ini sudah menerapkan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) di masing-masing negara. Indonesia belum termasuk negara yang tertib dalam aturan pengendalian tembakau dunia karena belum meratifikasi atau mengakses FCTC.
Perokok pasif
Salah satu pihak yang paling merasa tidak “merdeka” di tengah kepungan asap rokok adalah mereka yang tidak merokok dan menjadi perokok pasif.
Sudah banyak artikel dan berita yang menuliskan tentang para perokok pasif dan bahaya yang menunggu mereka. Namun, tetap saja perlindungan terhadap mereka dinilai masih minim.
Ibnu Haykal sejak kecil sudah sering batuk-batuk. Berkali-kali dia berobat ke dokter dan diberi obat untuk diminum, tetap saja dia harus menemui dokter setiap bulan.
Hingga akhirnya saat duduk di kelas 2 SMP, dokter memvonisnya mengidap asma tak murni yang disebabkan oleh asap rokok. Dokter “menuduh” dia sebagai remaja perokok.
“Ibu sampai bertanya apakah saya merokok di sekolah, karena di rumah memang saya tidak pernah terlihat merokok. Padahal, saya memang tidak pernah merokok,” tuturnya.
Setelah dirunut, ternyata Haykal merupakan perokok pasif. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, dia harus berangkat sekolah menggunakan angkutan umum. Saat SMP, dia sampai harus berganti angkutan kota hingga tiga kali untuk berangkat sekolah.
“Hampir setiap hari saya naik angkot untuk berangkat dan pulang sekolah, ada yang merokok baik pengemudinya atau penumpangnya,” katanya.
Menurut Haykal, di keluarganya sama sekali tidak ada yang merokok. Penyakit yang dia derita, ternyata betul-betul disebabkan oleh para perokok di dalam angkutan kota yang dia temui setiap hari.
Orang tuanya sendiri percaya Haykal tidak pernah merokok. Untuk mengetahui bagaimana kondisi Haykal sebenarnya saat berangkat dan pulang sekolah, ayahnya sampai ikut naik angkutan kota untuk melihat langsung.
“Asap rokok sampai menempel di baju. Kalau mau tidur juga harus mandi supaya asapnya tidak menempel di tempat tidur,” jelasnya.
Saat mengetahui penyakitnya itu disebabkan oleh asap rokok orang-orang di sekitarnya, Haykal mengaku merasa kesal. Bukan dia yang merokok, tetapi harus dia yang menanggung akibatnya.
“Saat asma menyerang rasanya betul-betul seperti antara hidup dan mati. Kalau normal kita bernafas otomatis. Saat asma menyerang, kita harus bernafas seperti manual,” tuturnya.
Lain lagi dengan ceria Zainudin. Dia bukan perokok, tetapi menjadi korban karena harus menjadi perokok pasif. Akibatnya, pita suaranya harus diangkat dan pada lehernya harus dibuat lubang sebagai saluran bernafas.
“Gejala awal yang saya rasakan adalah batuk. Setelah diobservasi lebih lanjut oleh dokter, saya divonis terkena kanker pita suara. Ada tumor yang tumbuh di tenggorokan saya,” tuturnya.
Zainudin pun harus menghadapi operasi pengangkatan pita suara pada usia 23 tahun agar kanker di tenggorokannya tidak menyebar. Tidak hanya pita suara yang diangkat, sebagian organ di tenggorokannya juga harus diangkat.
Saat ini, di usianya yang mencapai 44 tahun, dia harus bernafas melalui lubang yang ada di tenggorokannya. Untuk berbicara, dia harus menggunakan saluran makannya karena sudah tidak lagi memiliki pita suara.
Dokter yang menanganinya mengatakan penyakitnya akibat asap rokok dan awalnya mengira Zainudin seorang perokok. Padahal dia bukanlah seorang perokok.
Zainudin memang tinggal di lingkungan perokok. Keluarganya adalah perokok berat. Saat muda, dia juga aktif di kegiatan kepemudaaan yang para anggotanya adalah perokok.
Haykal dan Zainudin adalah korban dari rokok yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Selain mereka berdua, masih banyak orang-orang lain yang senasib dengan mereka.
Mereka yang tidak merokok, adalah orang-orang yang tidak merasa bebas merdeka untuk mendapatkan udara dan lingkungan yang sehat di era kemerdekaan saat ini.