REPUBLIKA.CO.ID, YANGON — Paus Fransiskus telah tiba di Myanmar, Senin (27/11). Ini adalah kunjungan pertamanya ke negara yang telah dituduh melakukan pembersihan etnis terhadap komunitas Rohingya.
Dilansir BBC, Senin, banyak pihak yang menantikan apakah Paus menyebut Rohingya untuk menggambarkan minoritas Muslim di negara tersebut.
Paus menggunakan istilah “saudara laki-laki dan perempuan Rohingya” saat mengkritik tindakan kekerasan yang terjadi di negara tersebut. Namun, kardinal Katolik di Myanmar telah memintanya tidak menggunakan istilah itu saat berada di Myanmar karena khawatir dapat menyebabkan kekerasan di negara mayoritas penganut Buddha tersebut.
Perjalanan Paus Fransiskus ke Myanmar dinilai sebagai perjalanan yang rumit. Beberapa penasihat kepausan telah memperingatkannya untuk tidak mengatakan kata “Rohingya”. Mereka khawatir, jika Paus menggunakan istilah tersebut, militer dan pemerintahan mayoritas umat Buddha Myanmar akan melawan orang Kristen yang minoritas.
Juru bicara Vatikan Greg Burke mengatakan, Paus menerima saran yang diberikan kepadanya secara serius untuk tidak menggunakan istilah tersebut. “Kami akan menemukan kebersamaan selama perjalanan. Ini bukan sebuah kata terlarang,” katanya.
Sebuah kelompok biksu Buddha garis keras yang sebelumnya dikenal dengan Ma Ba Tha mengatakan, mereka menyambut baik kunjungan Paus. Namun, mereka memperingatkan agar Paus tidak berbicara secara terbuka tentang Rohingya.
“Saya harap dia tidak menyentuh isu sensitif yang tidak dapat diterima oleh orang Myanmar. Tidak ada masalah jika dia berbicara tentang Islam, tetapi tidak bisa diterima jika dia berbicara tentang Rohingya dan teroris ekstrem,” kata juru bicara kelompok tersebut, Tawparka.
Pejabat Myanmar tidak menggunakan istilah Rohingya. Mereka menyebut Rohingya dengan sebutan “orang Bengali” yang bermigrasi secara ilegal dari Bangladesh. Oleh karena itu, Rohingya tidak terdaftar sebagai salah satu kelompok etnis di negara tersebut.
Mereka mengatakan, tindakan keras militer di Rakhine dimaksudkan untuk membasmi gerilyawan di wilayah tersebut. Namun, PBB telah menggambarkan kekerasan tersebut sebagai bentuk pembersihan etnis.
Paus dijadwalkan bertemu pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan kepala militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Ia kemudian akan mengunjungi Bangladesh dan bertemu dengan sekelompok kecil pengungsi Rohingya di sana.
Paus yang berusia 80 tahun ini telah dikenal karena pandangan moderatnya untuk mencela ketidakadilan global. Staf Paus mengatakan, Paus akan menggunakan perjalanan enam hari ini untuk mendorong dialog dan rekonsiliasi setelah kesepakatan tentatif pekan lalu.
Pekan lalu, Myanmar dan Bangladesh menandatangani kesepakatan untuk mengembalikan ratusan ribu orang yang telah melarikan diri. Namun, badan-badan bantuan khawatir tentang proses pemulangan ini, kecuali jika keamanan Rohingya terjamin.
Sumber Vatikan mengatakan, beberapa di Takhta Suci percaya perjalanan ini diputuskan terlalu tergesa-gesa setelah kunjungan Suu Kyi pada Mei. Reputasi Suu Kyi sebagai peraih Nobel Perdamaian telah ternoda karena dia menyatakan keraguan atas laporan pelanggaran hak asasi terhadap Rohingya dan tidak mengutuk aksi militer tersebut.
“Saya sangat mengagumi Paus dan kemampuan beliau, tetapi seseorang seharusnya membujuknya untuk tidak melakukan perjalanan ini,” kata Pastor Thomas Reese, seorang penulis dan analis Amerika terkemuka, di Religious News Service.
Kedatangan Paus dinanti oleh umat Katolik di negara tersebut. Paus melambaikan tangan melalui jendela mobil yang terbuka kepada anak-anak yang melambaikan bendera dan kaus Vatikan dengan semboyan “Love and Peace”. Umat Katolik di Myanmar hanya berjumlah 700 ribu orang dari 51 juta penduduk Myanmar.
Kunjungi Bangladesh
Paus dijadwalkan juga akan mengunjungi Bangladesh, tempat lebih dari 620 ribu orang Rohingya telah melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar. Paus Fransiskus diperkirakan akan bertemu dengan sekelompok pengungsi Rohingya di Dhaka, ibu kota Bangladesh, pada perjalanan keduanya. Ia akan menjadi paus pertama yang mengunjungi Bangladesh sejak 1986.
Pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar berharap kunjungan Paus Fransiskus ke wilayah tersebut akan membantu membawa perdamaian. Banyak pengungsi yang melarikan diri dari militer Myanmar kini membanjiri barak pengungsian di Bangladesh.
Mohammad Rafiq, salah satu pengungsi, mengaku sangat senang saat mendengar rencana kunjungan Paus Francis. Rofiq kini tinggal di pengungsian Kutapalong yang padat di selatan Bangladesh. Pria berusia 20 tahun itu mengatakan, dia berharap usaha Paus dapat membantu mengembalikan hak etnis Rohingya, termasuk hak kewarganegaraan di Myanmar.