Yogyakarta, KabarBerita.id — Proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang sedang berjalan di sejumlah daerah dikeluhkan masyarakat, khususnya para orang tua murid. PPDB dikeluhkan karena aturan yang dibuat pemerintah daerah dinilai merugikan siswa.
Keluhan terhadap proses PPDB salah satunya terjadi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk PPDB 2020 SMA/SMK. Ini karena PPDB tidak hanya mempertimbangkan nilai rapor sekolah menengah pertama (SMP). Nilai ujian nasional (UN) sekolah dasar juga menjadi pertimbangan dalam PPDB yang dilakukan secara daring.
Kegundahan publik terhadap aturan itu pun dituangkan melalui petisi di platform change.org. Mereka meminta bobot nilai UN SD dalam PPDB SMA/SMK di DIY dihapuskan. Petisi yang ditujukan kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy telah ditandatangani ratusan orang.
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY mengambil kebijakan itu dengan pertimbangan bahwa nilai rapor tidak memiliki standar yang jelas. Sebab, standar nilai rapor ditetapkan masing-masing sekolah dan standarnya berbeda-beda.
“Ada perubahan perhitungan, nilai gabungan yang dimasukkan nilai SD sebagai input. Karena kalau hanya rapor saja, itu standardisasinya diragukan,” kata Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Mutu Pendidikan Disdikpora DIY Didik Wardaya.
Awalnya, bobot perhitungan nilai adalah rata-rata nilai rapor sebesar 80 persen, rata-rata nilai UN sekolah dalam empat tahun terakhir sebesar 10 persen, dan nilai akreditasi sekolah sebesar 10 persen. Formulasi tersebut diubah menjadi rata-rata nilai rapor dan UN SD dengan bobot 80 persen, nilai rata-rata UN sekolah dalam empat tahun terakhir sebesar 10 persen, dan nilai akreditasi sekolah sebesar 10 persen.
PPDB SMA/SMK di DIY telah dimulai dengan melakukan input data pada 2-10 Juni. Sementara, proses pendaftaran baru akan dimulai pada 29 Juni hingga 1 Juli 2020.
Pengamat pendidikan, Muhammad Nur Rizal, mengkritisi kebijakan dipakainya nilai UN SD untuk PPDB SMA. Ia menilai ada dua hal yang dilanggar dalam kebijakan tersebut. Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) ini mengatakan, kebijakan tentang zonasi yang bertujuan memangkas stigma sekolah favorit dan nonfavorit justru dilembagakan.
“Poin ini sama saja tidak percaya dengan pengajaran guru-guru di sekolah SMP-nya, sampai pinjam nilai UN SD,” kata Rizal.
Kebijakan ini juga dinilai berpotensi merusak perkembangan mental anak didik. Misalnya, kata dia, ada anak yang semasa SD memiliki capaian akademik yang biasa atau tergolong rendah, lalu semasa SMP prestasi mereka mulai meningkat karena kesungguhannya dalam belajar.
Rizal menilai, anak-anak ini akan sangat dirugikan dengan kebijakan penggunaan nilai UN SD. Sebaliknya, siswa yang semasa SD-nya memiliki prestasi akademik baik dan masuk sekolah unggulan, tetapi semasa SMP mengalami penurunan, mereka akan mendapatkan jalan pintas masuk SMA yang diinginkan.