Depok, KabarBerita.id- Indonesia memang dianugerahi potensi alam yang menakjubkan, juga potensi bencana alam yang tak kalah hebatnya. Banjir, longsor, kebakaran hutan, gunung meletus, hingga tsunami silih berganti menghampiri penduduk negeri.
Rentetan bencana tentu amat sukar diprediksi. Meski begitu, potensi masyarakat Indonesia besar karena merupakan salah satu negara paling dermawan menurut Charities Aid Foundation World Giving Index. Tak perlu menunggu lama, masyarakat melakukan aksi nyata untuk anak-anak bangsa yang kesulitan. Misi kemanusiaan memanggil, orang perorang, komunitas, dan lembaga turun baik saat tanggap darurat, recovery maupun development.
Potensi ini menjadikan kegiatan fundraising di Indonesia harusnya lebih mudah. Namun sayangnya, banyak lembaga sosial dan kemanusiaan tidak mampu mengelola fundraising saat kebencanaan. “Pada akhirnya lembaga akan kehilangan momentum,”ujar Direktur Institut Fundraising Indonesia, Arlina F. Saliman.
Untuk itu, lembaga-lembaga sosial kemanusiaan perlu mengelola fundraising bencana dengan baik. Praktisi Fundraising M. Arifin Purwakananta ketika mengisi kelas online IFI, Sabtu (20/2), mengatakan, banyak kegiatan dalam menggalang donasi, mulai dari mengajak di sosial media, membuat poster, membuka rekening, membuat proposal, event fundraising, kotak amal dan lainnya. Namun justru, banyaknya kegiatan membuat beberapa lembaga agak kebingungan harus mulai dari nama.
Lembaga, ujar Arifin, perlu membuat strategi jitu dalam menggalang dana saat kebencanaan. Terutama bagaimana menyasar donatur dengan tepat. “Donatur dari perorangan, komunitas dan korporasi memiliki cara komunikasi yang berbeda. Untuk itu lembaga kemanusiaan perlu memiliki tim yang solid menyasar ketiganya ini,”ungkapnya.
Pada dasarnya, ujar dia, keberhasilan fundraising itu keberhasilan dalam komunikasi, kemudahan dalam saluran donasi dan kepuasan donatur. Fundraising bencana bisa sukses dengan mensukseskan komunikasinya.
“Tidak semua bencana mendorong orang untuk berdonasi. Masyarakat itu tidak bergerak hanya karena ada bencana,”lanjutnya.
Lantas, bencana mana yang membuat dapat berdonasi? Menurut Arifin, lembaga tidak mungkin menggalang dana ke sebuah komunitas ketika masyarakatnya tidak mengerti ada bencana. Misalnya terjadi longsor di daerah A, bencana dapat menggugah jika kuat dikomunikasikan ke media.
“Sampaikan fakta bencana, korban bencana, juga paska bencana. Yang jelas, jangan melulu menyampaikan penderitaan. Tampilkan perbaikan-perbaikan dan kerja lembaga, bukan hanya menjual penderitaan,”ujarnya.
Kemudian, lembaga perlu mem-branding dirinya. Kenalkan logo dan nama lembaga dengan konsisten. Brand lembaga yang tidak terkenal bisa dibangun dengan konsisten, sehingga masyarakat mengenal. Tim juga adalah duta lembaga, jadi mesti hati-hati dalam bekerja di kantor, di lapangan. Harapannya, lanjut dia, lembaga sosial di kebencanaan benar-benar terbukti kerjanya.
“Tidak mungkin orang-orang yang sudah sepuh menjadi tim kebencanaan, yang nggak suka ke lapangan,”ujarnya.
Meski begitu, mengenalkan brand lembaga jangan berlebihan. “Kita harus mengurangi spanduk-spanduk apalagi umbul umbul. Saat bencana bukan pesta, tidak etis rasanya,”ujarnya. Upayakan branding yang baik di pakaian, atribut, barang-barang bantuan bencana.
Setelah itu, lanjutnya, lembaga perlu mengajak orang berdonasi melalui jaringan pribadi. Orang yang menerima pesan lembaga harus terasa japri, bisa WA, DM FB, email, telepon, penyampaian lisan, proposal CSR khusus korporasi atau komunitas tertentu.”Bagian dari komunikasi yang harus dilakukan adalah jangan sia-siakan media. Maka supply berita yang ada news value-nya,”ungkap dia.