Berita  

Tiga Ketentuan dalam UU Ormas Ini Dinilai Perlu Direvisi

JAKARTA, Kabarberita.id – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun berpendapat bahwa ada tiga hal yang harus segera direvisi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) setelah ditetapkan menjadi undang-undang.

Menurut Refly, perubahan beberapa pasal tersebut dilakukan agar UU Ormas tidak digunakan secara berlebihan atau eksesif.

“Pemerintah harus secara bijak melakukan revisi di undang-undang tersebut agar tidak eksesif. Perbaikan harus menyangkut tiga hal penting,” ujar Refly saat ditemui di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2017).

Pertama, mengenai upaya persuasif terkait kewenangan pemerintah membubarkan ormas.

Refly menuturkan, seharusnya UU Ormas mengedepankan upaya persuasif terhadap ormas-ormas yang dianggap melanggar ketentuan hukum. Negara yang demokratis, kata Refly, wajib menjaga keberagaman.

“Negara ini harus melindungi semua keragaman yang ada. Kalau ada yang dianggap menyimpang dilakukan dulu upaya persuasi. Itulah ciri dari negara demokratis. Itu harus masuk dalam perubahan undang-undang,” ucap dia.

Kedua, lanjut Refly, UU Ormas tidak boleh menghilangkan ketentuan pembubaran ormas tanpa melalui proses pengadilan.

Ketiga, ketentuan pidana harus dibuat rasional. Refly memandang sanksi pidana penjara selama lima hingga 20 tahun bertentangan dengan ketentuan dalam KUHP.

Ketentuan pidana diatur dalam Pasal 82A Ayat (2) dan Ayat (3) Perppu Ormas. Sanksi pidana dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota dan atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Hukuman pidananya mulai dari seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.

Selain itu, anggota ormas anti-Pancasila dapat pula dikenai dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Dalam pembubaran ormas ada trek biasa dan trek luar biasa. Trek biasa itu adalah trek melalui proses pengadilan terlebih dulu dan mungkin prosesnya bisa dipersingkat. Trek luar biasa ketika negara dalam keadaan darurat maka negara boleh membubarkan sebuah ormas tanpa proses pengadilan lebih dulu, tapi pemerintah harus menyatakan keadaan darurat,” kata Refly.

Sebelumnya, DPR telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) sebagai undang-undang melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017).

Fraksi yang pro dan kontra terhadap penerbitan Perppu Ormas tidak dapat mencapai kata sepakat meski proses lobi dilakukan selama dua jam, hingga akhirnya rapat paripurna menetapkan mekanisme voting.

Sebanyak tujuh fraksi menerima perppu tersebut sebagai undang-undang yakni fraksi PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura.

Meski demikian, fraksi PPP, PKB, dan Demokrat menerima Perppu tersebut dengan catatan agar pemerintah bersama DPR segera merevisi Perppu yang baru saja diundangkan itu.

Sementara, tiga fraksi lainnya yakni PKS, PAN, dan Gerindra menolak Perppu Ormas karena menganggap bertentangan dengan asas negara hukum karena menghapus proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas.(Sumber: Kompas.com)

Tinggalkan Balasan