Tanda ‘Resesi Seks’, Negara Korsel dengan Tingkat Kesuburan Terendah Dunia

Jakarta, KabarBerita.id — Korea Selatan memecahkan rekor angka kesuburan terendah di dunia pada Rabu (24/8). Laporan ini muncul kala sejumlah negara mendeteksi fenomena resesi seks.

Beberapa tahun belakangan berbagai media menggunakan istilah resesi seks untuk menggambarkan penurunan aktivitas seksual karena tekanan hidup kian tinggi.

Korea Selatan sendiri memang sudah mengalami masalah reproduksi bertahun-tahun. Puncaknya, tingkat kesuburan di negara itu turun 0,03 persen menjadi 0,81 persen pada 2021 berdasarkan data pemerintah.

Angka ini didapat dari jumlah kelahiran per pasangan dibandingkan dengan keseluruhan populasi.

Untuk menjaga kestabilan populasi, satu negara harus memiliki tingkat kesuburan 2,1 persen.

Angka kelahiran di Korsel sendiri sudah terpantau kian turun sejak 2015. Tren penurunan itu terus terjadi di tahun-tahun selanjutnya.

Pada 2020 negara itu bahkan mencatat lebih banyak kematian ketimbang kelahiran untuk pertama kalinya. Ini membuat jumlah penduduk negara itu menyusut.

Belakangan bahkan perempuan Korsel juga memutuskan memiliki anak saat usia tua. Rata-rata umur perempuan Korsel yang melahirkan pada 2021 adalah 33,4 tahun.

Beberapa faktor menjadi penyebab angka kelahiran di Korsel berkurang, mulai dari budaya kerja, upah stagnan, kenaikan biaya hidup, dan kenaikan harga rumah.

Kebanyakan perempuan di Korsel mengatakan mereka tidak memiliki waktu, uang, dan kapasitas emosional untuk berkencan.

The Conversation melaporkan, masyarakat muda Korsel saat ini disebut-sebut sebagai “generasi sampo.”

Ucapan ini merujuk pada generasi yang telah menyerah akan tiga hal, yakni berkencan, menikah, dan punya anak.

Asisten Profesor Sosiologi di Universitas British Columbia, Yue Qian menuturkan bahwa 40 persen masyarakat Korsel berumur 20-an hingga 30-an tahun telah berhenti berkencan.

Yue menuturkan bahwa pernikahan dan kencan sudah lagi menjadi prioritas salah satunya karena bagi perempuan Korsel, mereka mengemban tanggung jawab lebih banyak atas urusan rumah.

Riset Yue pada 2006 menemukan bahwa 46 persen perempuan Korsel yang menikah pada 25-54 tahun mengemban 80 persen pekerjaan rumah. Suami mereka hanya melakukan pekerjaan rumah kurang dari 20 persen.

Tak hanya itu, alasan lain generasi muda Korsel tak mau lagi berkencan, menikah, dan membesarkan anak adalah karena kesulitan finansial.

Banyak generasi muda Korsel yang bekerja tanpa kontrak tetap, bayaran rendah, dan sedikit jaminan pendapatan. Korsel juga memiliki budaya jam kerja panjang.

Pemerintah Korsel sendiri telah menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi angka kesuburan yang menurun.

Salah satu kebijakannya adalah mengizinkan pasangan mengambil cuti di waktu yang sama, pun memperlama cuti berbayar untuk ayah.

Pemerintah juga mengurangi jumlah waktu bekerja per pekan dari 68 ke 52, dengan harapan warga Korsel dapat memiliki kehidupan pribadi setelah bekerja.

Tinggalkan Balasan