Survei Kompas dan Kaidah Petahana

Oleh: Masz Ton
Pemerhati Media dan Komunikasi Politik

SURVEI elektabilitas Capres-Cawapres Pilpres 2019 yang dirilis Harian Kompas, Rabu, 20 Maret 2019 menimbulkan kehebohan. Kubu petahana, Jokowi-Amin meradang. Pasalnya survei harian umum nasional berpengaruh itu hasilnya berbeda dengan lembaga survei mainstream (arus utama) yang rutin dipublikasikan sepanjang musim kampanye Pemilu 2019 ini.

Lembaga-lembaga survei mainstream seragam menyuguhkan tingkat elektabilitas petahana di atas 50 persen. Sementara hasil survei Kompas yang dilakukan 22 Februari-5 Maret 2019 dengan 2.000 responden menunjukkan tingkat elektabilitas petahana tinggal 49,2 persen, Prabowo-Sandi 37,4 persen, dan yang belum memutuskan (undicided) 13,4 persen.

Angka tingkat keterpilihan Paslon 01 ini melorot 3,4 persen dibanding survei Kompas sebelumnya yang dirilis Oktober 2018 sebesar 52,6 persen. Sementara Paslon 02 naik 4,7 persen dari survei sebelumnya sebesar 32,7 persen. Dan yang belum memutuskan pilihan sebesar 14,7 persen.

Paparan survei Kompas ini membuat kubu petahana meradang. Sejumlah pendukungnya menganggap Kompas melakukan politisasi survei. Surveinya dianggap ditunggangi kepentingan politik tertentu.

Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Pambudi pun jadi sasaran tembak. Survei itu pun dipaksa dikait-kaitkan dengan kiprah suami Ninuk, Rachmat Pambudi di partai penyokong utama pasangan 02. Ditambah sebelumnya tersebar foto Ninuk dan suami dengan Capres Prabowo di Hambalang, maka lengkaplah bumbu untuk menuding Ninuk atau Kompas memolitisasi survei itu.

Litbang Kompas tegas membantah tudingan itu. “Survei Kompas tunduk pada ilmu statistik,” kata General Manager Litbang Kompas, Harianto Santoso di laman Kompas.id (20/3/2019). Patuh pada ilmu statistik, lanjut dia, jadi kunci yang dipegang Kompas untuk menjaga kredibilitas, dan yang terpenting bisa mencerminkan realitas di masyarakat.

Manager Database Litbang Kompas, Ignatius Kristanto menyebut survei yang dilakukan lembaganya bersifat mandiri. Tidak ada campur tangan pihak lain. Biaya sendiri, membuat kuesioner sendiri, turun ke lapangan sendiri, dan tentu mengolah data-data dari lapangan sendiri juga.

Lantas kenapa kubu 01 seperti kebakaran jenggot dengan hasil survei Kompas? Toh survei itu masih menunjukkan petahana unggul dengan selisih suara 11,8 persen dibanding penantang?

Jawabnya adalah ketakutan pada apa yang dikenal dengan rule of incumbent, atau kaidah petahana. Kaidah ini dikenalkan oleh Nick Panagakis, pemilik sekaligus CEO Market Share Corporation, sebuah perusahaan riset pemasaran dan opini publik yang bermarkas di Mount Prospect, Illinois, AS. Tahun 1989, Nick, yang juga pernah duduk sebagai anggota Dewan Nasional Pemilihan Umum AS menulis sebuah artikel berjudul Race of Incumbent: Closer Than They Appear di The Polling Report edisi 27 Februari 1989.

Artikel Nick yang banyak diperbincangkan kalangan para tukang surve itu memuat kesimpulan yang mengagetkan. Yakni, petahana yang memiliki elektabilitas di bawah 50 persen dalam survei terakhir sebelum hari pemilihan selalu kalah. Inilah yang oleh Nick disebut sebagai rule of incumbent.

Kesimpulan Nick diambil setelah menganalisis 155 survei pemilihan anggota Senat, Gubernur, dan Walikota di AS, yang dilakukan sejumlah lembaga survei seperti CBS, Gallup, Gordon S. Black Corp, Market Opinion Reserach, Tarrance Associates, dan Mason-Dixon Opinion Reserach, serta jajak pendapat yang muncul dalam The Polling Report. Sampel yang diambil Nick adalah survei tahun 1986 dan 1988, serta beberapa survei pemilihan tahun 1970.

Menurut analisis Nick, faktor penentu kalahnya petahana yang memiliki suara di bawah 50 persen adalah undicided voters atau pemilih ragu, pemilih yang belum menentukan pilihan. Dari 155 survei yang dianalisis, 82 persen atau 127 survei menunjukkan mayoritas pemilih yang belum menentukan pilihan memberikan suara kepada penantang. Hanya 19 survei atau 12 persen yang menunjukkan undicided voters memilih petahana, dan sisanya enam survei atau sembilan persen yang memberi gambaran suara pemilih ragu terdistribusi merata untuk petahana dan penantang.

Analisis Nick menyebutkan, kinerja petahana menjadi pertimbangan utama pemilih belum memutuskan pilihan. Dan pada hari pemilihan, sebagian besar lebih pemilih ragu itu memberikan suaranya kepada penantang. Mereka memberi kesempatan kepada penantang dengan harapan bisa bekerja lebih baik dari petahana.

Memang kaidahnya, petahana harusnya memiliki tingkat elektabilitas di atas 50 persen. Pasalnya, sepanjang masa jabatannya dia terus berkampanye. Terus mengenalkan diri ke masyarakat. Menjalankan program-program kampanye yang pernah ditawarkan saat maju pada periode sebelumnya. Masyarakat jadi lebih mengenal dia. Kalau program-program atau janji-janjinya ditepati masyarakat bisa makin cinta.

Basis pemilih pun akan bertambah, karena masyarakat yang tidak memilih dia di periode lalu bisa terpukau dengan kerjanya. Terpikat dengan komitmennya memenuhi janji-janji kampanye. Tingkat kepuasan masyarakat kepadanya akan makin tinggi. Dan pada gilirannya hal itu akan mendongkrak tingkat elektabilitasnya.

Tetapi jika elektabilitasnya di bawah 50 persen berarti sang petahana ada dalam zona bahaya. Karena sebagian besar masyarakat tidak puas dengan kinerjanya. Dan dalam kondisi seperti ini kaidah lain yang akan berlaku. Yakni, kaidah petahana yang tingkat elektabilitasnya di bawah 50 persen potensi kalahnya sangat besar.

@masz_ton

Tinggalkan Balasan