Suriname Pertanyakan Sikap Belanda Usai Minta Maaf atas Perbudakan

Jakarta, KabarBerita.id — Presiden Suriname, Chan Santokhi memberikan respons terkait permintaan maaf Belanda melalui Perdana Menteri-nya, Mark Rutte soal perbudakan yang dilakukan negaranya di masa lalu selama ratusan tahun.

Santokhi menilai permintaan maaf yang dilontarkan Rutte merupakan pernyataan jelas negara itu atas, “Keterlibatan Belanda dalam tindakan tak manusiawi terhadap orang-orang yang dibawa ke Suriname secara paksa dalam waktu yang lama untuk dijadikan budak ekonomi Belanda.”

“Ini tentang penindasan dan eksploitasi selama berabad-abad. Menawarkan permintaan maaf juga mengakui momentum, aspek budaya dari keturunan mereka yang diperbudak, dan menjadikan momen saat Anda meminta maaf menjadi bermakna,” kata Santokhi pekan lalu seperti dikutip Dutch News.

“Terlebih, persiapan saat meminta maaf sama pentingnya dengan bagaimana Anda meminta maaf dalam praktik,” ucapnya melanjutkan.

Sementara itu Perdana Menteri Aruba, Evelyn Wever Croes, mengatakan negara-negara di Karibia “bersyukur atas langkah pertama” Rutte. Dia menggambarkan permintaan maaf PM Belanda tersebut sebagai “titik balik dalam sejarah kerajaan”.

“Sekarang kami punya kesempatan untuk bekerja sama untuk masa depan yang lebih baik sebagai negara yang setara,” ujarnya.

Rutte pada Senin (19/12) mengucapkan permohonan maaf secara terbuka atas perlakuan Belanda di masa lalu yang memperbudak banyak orang, salah satunya masyarakat Suriname.

Permintaan maaf itu umumnya disambut baik. Namun sejumlah pihak mengharapkan Rutte untuk tak cuma omong kosong belaka. Mereka menginginkan sang perdana menteri bertindak sesuai janjinya.

“Ini benar-benar momen bersejarah,” kata ketua komisi UNESCO Belanda, Kathleen Ferrier.

“Saya melihat seorang perdana menteri yang rendah hati, yang memperhatikan fakta-fakta, dan berkata bahwa dia telah belajar dan menantikan masa depan,” ujarnya.

Dalam pidatonya tersebut, mengutip dari naskah yang dirilis dari situs resmi pemerintahan Belanda, Rutte menyatakan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu termasuk ke eks koloninya. Dia menyebut secara spesifik korban perbudakan Belanda di di wilayah Karibia seperti Suriname, Curaçao, St Maarten, Aruba, Bonaire, Saba, dan St Eustatius.

“Permintaan maaf ini kami tulis bukan dengan titik, tapi koma,” kata Rutte.

“Permintaan maaf yang baru saja saya sampaikan akan digaungkan hari ini di tujuh tempat lain di dunia–tempat di mana rasa sakit dan akibat perbudakan paling terasa dan terlihat hingga hari ini,” imbuhnya.

Rutte menegaskan perwakilan pemerintah Belanda akan menggaungkan permintaan maaf resmi atas perbudakan di masa lalu.

“Itu akan digaungkan dalam kalimat yang disampaikan tujuh perwakilan pemerintah Belanda. Di Suriname, di Curaçao, di St Maarten, di Aruba, di Bonaire, di Saba, dan di St Eustatius,” kata Rutte.

Dalam pidatonya itu, Rutte tak secara eksplisit menyebut Indonesia yang merupakan daerah kolonialisme negara kerajaan itu. Dia hanya menyebut di bawah kekuasaan Perusahaan dagang Hindia Timur atau Dutch East India Company (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) yang menjadi tangan Belanda di Nusantara pada masa lalu.

Tinggalkan Balasan