Jakarta, KabarBerita.id — Bencana alam melanda sejumlah daerah di Indonesia pada awal 2021. Rentetan duka dimulai dari Sumedang, Jawa Barat, Sabtu (9/1). Tanah longsor menelan 32 korban meninggal dunia.
Banjir kemudian melanda Kalimantan Selatan pada Selasa (12/1). Sepuluh daerah terdampak dan 27.111 rumah tenggelam. 112 ribu orang mengungsi. Belum kering tangis di Kalsel, gempa magnitudo 6,2 mengguncang Sulbar, Jumat (15/1) dini hari. Per hari ini 88 orang meninggal.
Banjir rob juga menerpa pesisir Manado, Minggu (17/1), menyusul tanah longsor sehari sebelumnya. Diperkirakan 500 orang mengungsi.
Pegiat lingkungan dan pakar menilai bencana sebagian murni datang dari alam, sebagian datang karena balasan atas ulah manusia. Terkait banjir di Kalsel, sejumlah LSM lingkungan mengungkap soal penggundulan hutan di Kalimantan.
Walhi mencatat tutupan hutan di Kalimantan terus menyusut. Sempat tercatat 33,2 juta hektare pada 2000, lalu pada 2017 jumlah tutupan hutan menyusut jadi 24,8 juta hektare.
BMKG mengungkap banjir rob di Manado terjadi akibat angin kencang. Mereka juga mengungkap pesisir Manado tidak ada hutan bakau atau mangrove. Selain itu, ada reklamasi di dekat tempat kejadian. Kebijakan pembangunan di era Jokowi dipertanyakan.
“Faktanya, kami melihat pemerintah sedang merencanakan bencana ekologis. Bukan hanya salah strategi, tapi sadar merencanakan kesalahan itu,” kata Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana, Selasa (19/1).
Wahyu mencontohkan soal hutan Kalimantan yang diubah jadi lahan sawit dan tambang. Ia menyebut 61 persen lahan di Kalimantan habis untuk konsesi tambang, perkebunan, dan konsesi kebun kayu. Selain itu, pemerintah dan DPR mengesahkan UU Cipta Kerja. Beberapa hal yang ia soroti adalah penghapusan kewajiban kawasan hutan.
“Dia (kawasan hutan minimal 30 persen) diukur berdasarkan luasan daerah aliran sungai. Nah, tapi kan batas minimum itu dihapus oleh UU Ciptaker,” ujarnya.
Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kalimantan mencatat angka deforestasi tertinggi dibanding pulau lain dalam kurun waktu 2017-2018. Angkanya mencapai 128,2 ribu hektare (netto).
Penyumbang deforestasi paling tinggi di wilayah ini didapat pada kawasan Hutan Produksi (HP) atau hutan yang digunakan untuk pembangunan, industri dan ekspor, dengan luas mencapai 25,3 ribu hektare. Kemudian disusul kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 11,9 ribu hektar, Hutan Produksi Konservasi (HPK) 9,1 ribu hektare, Hutan Konservasi (HK) 4,6 ribu hektare dan Hutan Lindung (HL) 3 ribu hektare.
Ketimpangan kebijakan
Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB Hariadi Kartodihardjo juga berpendapat serupa. Ia menilai ada ketimpangan perhatian pemerintah terhadap investasi dan lingkungan hidup.
Hariadi berkata pemerintah mempermudah perizinan hingga pembuatan landasan hukum demi investasi. Sementara untuk bencana, pemerintah terkesan baru akan bergerak setelah ada kejadian.
“Ketika kita melihat wilayah-wilayah longsor di Jabar atau (gempa) di Sulawesi Barat, sudah kelihatan secara geologis, tapi tidak disiapkan seperti investasi tadi. Itu terasa betul ketimpangan-ketimpangan itu,” kata Hariadi, Senin (18/1).
Hariadi berpendapat ada sejumlah hal yang harus dibenahi pemerintahan Jokowi soal lingkungan hidup. Pertama, Jokowi harus memperbarui teknologi deteksi dini yang dimiliki Indonesia.
Kedua, pemerintah perlu membuat sistem pelaporan potensi bencana yang melibatkan masyarakat. Laporan-laporan itu dihimpun jadi big data yang bisa dipakai untuk deteksi dini.
Lalu, pemerintah harus mengendalikan permintaan pasar yang berpotensi memacu produsen hingga membuat kerusakan lingkungan. Terakhir, memperbaiki kebijakan nasional agar lebih pro lingkungan hidup.
“Kesimbangan antara ekonomi dengan lingkungan, tidak bisa tidak. Karena kalau dihitung dari waktu ke waktu, pengorbanan lingkungan itu juga sudah mempengaruhi investasi ekonomi, berapa jalan yang rusak, jalan yang hancur,” tuturnya.