Denpasar, KabarBerita.id – Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan konsentrasi gas sulfur dioksida (SO2) Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, menurun jika dibandingkan ketika erupsi eksplosif pada 26-27 November 2017.
“Saat ini nilainya lebih rendah 20 kali lipat,” kata Kepala Sub-Bidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil Syahbana di Pos Pengamatan Gunung Agung di Desa Rendang, Karangasem, Minggu (3/12).
Menurut Devy, berkurangnya gas SO2, menandakan dua kemungkinan yakni laju magma yang naik ke permukaan melemah karena kehilangan energi akibat gas magmatik semakin berkurang yang pada akhirnya habis dan menuju keseimbangan.
Kemungkinan kedua, lanjut dia, terjadinya penyumbatan pada pipa magma sehingga fluida magma yang bergerak ke permukaan terhalang oleh lava di permukaan yang mendingin dan mengeras.
Apabila kemungkinan pertama yang terjadi maka, menurut dia, potensi erupsi akan berkurang karena magma kehilangan mobilitasnya.
“Bahkan erupsi-erupsi selanjutnya bisa jadi tidak teramati lagi dalam waktu dekat sampai magma baru suatu saat nanti lahir lagi,” ucapnya.
Namun jika kemungkinan kedua yang terjadi maka potensi erupsi akan meningkat karena akumulasi tekanan magma bertambah.
Sehingga pada waktu tertentu, ketika lava yang menutupi keluarnya magma kekuatannya lebih rendah dari tekanan yang diakumulasi di bawahnya, maka diprediksi erupsi dapat terjadi.
Devy melanjutkan jika kemungkinan kedua yakni terjadinya penyumbatan maka ada dua hal dapat terjadi yang berkaitan dengan masa tenang lama dan pendek.
Jika masa tenangnya lama, kata dia, maka kemungkinan akumulasi tekanannya semakin besar, erupsi memungkinkan terjadi lebih eksplosif dari erupsi sebelumnya.
Pada erupsi tahun 1963 lalu, lanjut Devy, terdapat fase istirahat sekitar dua minggu sebelum terjadinya erupsi utama yang mencapai ketinggian sekitar 23 kilometer.
Namun jika masa tenangnya pendek, maka kemungkinan akumulasi tekanannya tidak besar, erupsi memungkinkan untuk terjadi dengan dengan eksplosivitas mirip erupsi sebelumnya atau lebih rendah dari pada erupsi utama tahun 1963.
Adanya pendekatan kemungkinan itu, kata dia, karena para ahli vulkanologi belum bisa menggunakan metode pendekatan yang pasti mengingat kompleksitas yang dimiliki gunung berapi.
“Artinya meski saya menjelaskan beberapa kemungkinan, bisa jadi Gunung Agung memiliki rencana sendiri yang tidak masuk pada kemungkinan tersebut,” ucapnya.
Semburan Sulfur Dioksida (SO2) dari Gunung Agung terdeteksi oleh Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) yang disebutkan pada laman earthobservatory.nasa.gov.
Pada laman itu disebutkan SO2 terdeteksi oleh “Ozone Mapper Profile Suite” pada Satelit Suomi National Polar-orbiting Partnership atau satelit Suomi NPP yang mencapai puncak pada 27 November 2017 dan mulai berangsur menurun pada 28 November 2017.
Ahli vulkanologi dari Universitas Teknologi Michigan amerika Serikat Simon Carn menyebutkan menurunnya pergerakan SO2 Gunung Agung disebabkan karena adanya tarikan siklon tropis Cempaka yang membawa gas tersebut menjauh ke arah barat.
Simon mengungkapkan satelit Suomi NPP juga mencatat SO2 yang dihasilkan total mencapai sekitar 40 ribu ton selama 26-29 November 2017 seperti yang disebutkan dalam artikel terkait kemungkinan Gunung Agung mempengaruhi iklim global oleh meteorologis Bob Henson dari “Weather Underground”.
Sementara itu ahli vulkanologi lain dari Universitas Pittsburgh Amerika Serikat Janine Krippner pada laman NASA itu mengatakan menurunnya SO2 merupakan hal normal yang sedikit berfluktuasi.
“Tetapi aktivitas (vulkanik) gunung api belum menurun saat ini,” ucapnya.