Editorial KabarBerita
Senin, 28 Mei 2018
Cerita KTP-el sepertinya tak pernah selesai. Never ending story. Ada saja kisah miring yang mengiringi proyek kolosal tersebut. Dulu gaduh soal mega korupsi yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Belum lagi habisnya blangko KTP-el yang melanda semua wilayah di Indonesia.
Kini drama KTP-El kembali terjadi usai dua dus berisi KTP-El tercecer di Bogor, Jawa Barat. Penemuan ini sungguh mengejutkan. Mengingat masih banyak anggota masyarakat yang KTP-elnya belum jadi meski sudah mengurusnya sejak lama. Bahkan ada yang tahunan.
Mendagri Tjahjo Kumolo merespons cepat kasus ini. Politisi PDIP itu meminta dinas terkait untuk segera membakarnya. Dia juga menyimpulkan bahwa ini adalah sabotase. Dirjen Dukcapil sendiri menyatakan bahwa itu adalah KTP-el yang rusak.
Publik tentu saja tidak bisa diredam dengan pernyataan seperti itu. Jika memang rusak, mengapa adanya di Jawa Barat? Padahal KTP-el yang tercecer tersebut beralamat di Sumatera Selatan. Sangat jauh.
Fakta ini tentu saja memuncukkan syak wasangka yang tak terhindarkan. Publik menduga bisa jadi ada kaitannya dengan perhelatan Pilkada Jawa Barat 2018 dan juga Pilpres 2019.
Pemerintah perlu menjelaskan dengan segamblang-gamblangnya. Sebab, KTP-el adalah benda yang cukup sensitif terutama di tahun-tahun politik. Jika Mendagri sudah menyimpulkan sebuah sabotase, maka harus diusut tuntas sampai ditemukan pelaku dan apa motifnya melakukan sabotase.
Selain itu publik perlu mendapatkan sebuah penjelasan tentang Standar Operating Procedur (SOP) tentang KTP-El yang rusak. Apakah memang harus dibakar atau disimpan di dalam gudang atau dihancurkan saat itu juga? Terlebih disebutkan jika KTP-El yang tercecer adalah cetakan 2012. Artinya selama hampir enam tahun barang tersebut tidak segera dimusnakan dan justru malah dipindah-pindahkan tanpa alasan yang jelas hingga kini. Sekali lagi publik membutuhkan penjelasan, tuntas dan lengkap.
Pemerintah harus memberikan penjelasan yang masuk akal dan berkomitmen untuk mengusut tuntas dengan melibatkan aparat penegak hukum. Jika dibiarkan, maka kepercayaan publik kepada pemerintah akan semakin menurun, bahkan bisa sampai titik nadir.
Tim Redaksi
KabarBerita