WASHINGTON DC, Kabarberita.id – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah memberikan pengakuan resmi bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Trump juga menjelaskan bahwa pemindahan Kedutaan Besar AS akan segera berproses.
Pidato bersejarah Trump ini disampaikan di Gedung Putih, Washington DC, pada Rabu (6/12) siang waktu AS, atau Kamis (7/12) dini hari waktu Indonesia. Trump didampingi Wakil Presiden AS Mike Pence saat menyampaikan pidato ini.
Seperti dilansir dari situs resmi Gedung Putih, whitehouse.gov, Kamis (7/12/2017), pidato Trump ini fokus membahas soal pengakuan resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel juga soal rencana pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Pemindahan Kedubes AS, disebut Trump, sebagai penerapan Undang-Undang Kedutaan Yerusalem yang disepakati Kongres AS tahun 1995 lalu. Dia menyebut para Presiden AS sebelumnya gagal menerapkan Undang-Undang itu.
Trump juga menegaskan bahwa pengakuan Yerusalem ini tidak berarti menggugurkan komitmen AS terhadap upaya perdamaian bagi Israel dan Palestina. Dia menyatakan, AS tetap berkomitmen untuk mewujudkan solusi dua negara, asalkan disepakati oleh Israel juga Palestina.
Lebih lanjut, Trump menyebut pengakuan Yerusalem ini sebagai pendekatan baru dalam menghadapi konflik Israel-Palestina yang tidak berkesudahan.
Berikut pernyataan lengkap Trump soal pengakuan Yerusalem seperti dikutip dari situs resmi Gedung Putih:
Terima kasih. Ketika saya mulai menjabat, saya berjanji untuk melihat tantangan dunia dengan mata terbuka dan pemikiran sangat segar.Kita tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan kita dengan membuat asumsi gagal yang sama dan mengulang strategi masa lalu yang sama yang telah gagal. Semua tantangan memerlukan pendekatan-pendekatan baru.
Pengumuman saya hari ini menandai awal pendekatan baru untuk konflik antara Israel dan Palestina.
Tahun 1995, Kongres mengadopsi Undang-undang Kedutaan Yerusalem yang mendorong pemerintah federal untuk merelokasi Kedutaan Besar Amerika ke Yerusalem untuk mengakui bahwa kota itu, dengan sangat penting, merupakan ibu kota Israel. Undang-undang ini diloloskan Kongres dengan suara bipartisan mayoritas sangat besar. Dan ditegaskan oleh suara bulat Senat hanya enam bulan lalu.
Namun, selama lebih dari 20 tahun, setiap Presiden Amerika sebelumnya telah memberlakukan hukum waiver, menolak untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem atau untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Presiden-presiden menerbitkan waiver ini dengan keyakinan bahwa menunda pengakuan Yerusalem akan memajukan isu perdamaian. Beberapa pihak menyebut mereka kurang berani tapi mereka memberikan penilaian terbaik mereka berdasarkan fakta-fakta yang mereka pahami saat itu. Namun demikian, semuanya tercatat. Setelah lebih dari dua dekade menerbitkan waiver, kita tidak juga lebih dekat pada kesepakatan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina. Akan menjadi kebodohan untuk beranggapan bahwa mengulang formula yang sama persis sekarang akan menghasilkan hasil yang berbeda atau lebih baik.
Oleh karena itu, saya telah menentukan bahwa ini saatnya untuk mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Sementara presiden-presiden sebelumnya telah menjadikan hal ini sebagai janji kampanye besar, mereka gagal mewujudkannya. Hari ini, saya mewujudkannya.
Saya telah menilai rangkaian tindakan ini berada di dalam kepentingan terbaik Amerika Serikat dan upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Ini merupakan langkah yang diharapkan sejak lama untuk memajukan proses perdamaian. Dan untuk mengupayakan kesepakatan abadi.
Israel adalah negara berdaulat dengan hak, sama seperti setiap negara berdaulat lainnya, untuk menentukan ibu kota sendiri. Mengakui hal ini sebagai sebuah fakta adalah syarat yang diperlukan untuk mencapai perdamaian.
Sekitar 70 tahun lalu, Amerika Serikat di bawah Presiden Truman mengakui negara Israel. Sejak saat itu, Israel telah menetapkan ibu kotanya di kota Yerusalem — ibu kota yang didirikan rakyat Yahudi pada masa kuno. Hari ini, Yerusalem menjadi lokasi pemerintahan Israel modern. Kota ini menjadi rumah Parlemen Israel, Knesset, juga Mahkamah Agung Israel. Kota ini menjadi lokasi kediaman resmi perdana menteri dan presiden. Kota ini menjadi markas banyak kementerian pemerintah.
Selama beberapa dekade, Presiden-presiden Amerika, Menteri Luar Negeri dan para pemimpin militer yang berkunjung bertemu mitra-mitra Israel mereka di Yerusalem, sama seperti yang saya lakukan saat kunjungan saya ke Israel awal tahun ini.
Yerusalem bukan hanya pusat tiga agama besar, tapi sekarang juga menjadi pusat salah satu demokrasi paling sukses di dunia. Selama tujuh dekade terakhir, rakyat Israel telah membangun sebuah negara di mana umat Yahudi, Muslim dan Kristen dan orang-orang dari semua keyakinan bebas untuk menjalankan kehidupan dan beribadah menurut nurani mereka dan menurut kepercayaan mereka.
Yerusalem saat ini, dan harus tetap, menjadi tempat di mana umat Yahudi berdoa di Tembok Ratapan, di mana umat Kristen menapaki jalan salib, dan di mana umat Muslim beribadah di Masjid Al-Aqsa.
Namun, selama bertahun-tahun, presiden-presiden yang mewakili Amerika Serikat menolak untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Faktanya, kita menolak untuk mengakui ibu kota Israel sama sekali.
Tapi hari ini, kita akhirnya mengakui hal yang jelas: bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Ini tidak lebih dan tidak kurang, adalah sebuah pengakuan realitas. Ini juga menjadi hal yang benar untuk dilakukan. Ini hal yang harus dilakukan.
Itulah mengapa, konsisten dengan Undang-undang Kedutaan Yerusalem, saya juga mengarahkan Departemen Luar Negeri untuk memulai persiapan memindahkan Kedutaan Besar Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem. Ini berarti segera memulai proses mempekerjakan arsitek, teknisi dan perencana agar kedutaan yang baru, ketika selesai dibangun, akan menjadi persembahan luar biasa untuk perdamaian.
Dalam pengumuman ini, saya juga ingin memperjelas satu poin: Keputusan ini tidak dimaksudkan, dalam cara apapun, untuk menunjukkan penarikan diri dari komitmen kuat kami untuk memfasilitasi kesepakatan perdamaian abadi. Kami menginginkan sebuah kesepakatan yang menjadi kesepakatan baik bagi Israel dan kesepakatan baik bagi Palestina. Kami tidak mengambil posisi untuk status akhir pada isu-isu termasuk perbatasan spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem atau resolusi perbatasan yang diperdebatkan. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi urusan pihak-pihak yang terlibat.
Amerika Serikat tetap berkomitmen secara mendalam untuk membantu memfasilitasi kesepakatan damai yang diterima oleh kedua pihak. Saya berniat melakukan apapun dalam kemampuan saya untuk membantu menempa kesepakatan semacam itu. Tanpa perlu dipertanyakan, Yerusalem adalah salah satu isu paling sensitif dalam perundingan itu. Amerika Serikat akan mendukung solusi dua negara jika disepakati oleh kedua pihak.
Untuk saat ini, saya menyerukan kepada semua pihak untuk mempertahankan status quo di tempat-tempat suci Yerusalem, termasuk Temple Mount, yang juga dikenal sebagai Haram al-Sharif.
Di atas semua itu, harapan terbesar kami adalah perdamaian, keinginan universal dalam jiwa setiap manusia. Dengan keputusan hari ini, saya menegaskan kembali komitmen lama pemerintahan saya untuk perdamaian dan keamanan kawasan di masa depan.
Akan ada, tentu, ketidaksepakatan dan perbedaan pendapat terkait pengumuman ini. Tapi kami percaya bahwa pada utamanya, dengan kami menghadapi ketidaksepakatan ini, kami akan tiba pada perdamaian dan tempat yang jauh lebih baik dalam pemahaman dan kerja sama.
Kota sakral ini seharusnya mampu menunjukkan yang terbaik dalam kemanusiaan. Angkat pandangan kita pada apa yang mungkin, bukan menarik diri ke belakang dan ke bawah pada pertengkaran lama yang telah menjadi sungguh mudah ditebak. Perdamaian tidak pernah berada di luar genggaman orang-orang yang ingin mencapainya.
Jadi hari ini, kami menyerukan agar ketenangan, sikap menahan diri, suara-suara toleransi bisa menang atas penebar kebencian. Anak-anak kita seharusnya mewarisi cinta kita, bukan konflik kita.
Saya menegaskan pesan yang saya sampaikan saat pertemuan luar biasa dan bersejarah di Arab Saudi awal tahun ini: Timur Tengah adalah kawasan yang kaya akan budaya, semangat dan sejarah. Orang-orangnya cemerlang, penuh kebanggaan dan beragam, bersemangat dan kuat. Tapi masa depan luar biasa yang menunggu kawasan ini, tertahan oleh pertumpahan darah, ketidaktahuan dan teror.
Wakil Presiden Pence akan mengunjungi kawasan dalam beberapa hari ke depan untuk menegaskan kembali komitmen kami bekerja sana dengan mitra-mitra di seluruh Timur Tengah untuk mengalahkan radikalisme yang mengancam harapan dan mimpi generasi masa depan.
Inilah saatnya bagi banyak orang yang menginginkan perdamaian untuk mengusir ekstremis dari tengah-tengah mereka. Inilah saatnya bagi seluruh bangsa beradab, dan rakyatnya, untuk menanggapi ketidaksepakatan dengan perdebatan yang beralasan — bukan kekerasan.
Dan inilah saatnya bagi kaum muda dan moderat untuk bersuara di seluruh Timur Tengah untuk mewujudkan sendiri masa depan cerah dan indah.
Jadi hari ini, mari kita mendedikasikan kembali diri kita menuju jalur saling memahami dan menghormati. Mari memikirkan ulang anggapan-anggapan lama dan membuka hati dan pikiran kita untuk hal yang mungkin dan setiap kemungkinan. Dan akhirnya, saya meminta para pemimpin kawasan — politik dan keagamaan; rakyat Israel dan Palestina; umat Yahudi dan Kristen dan Muslim — untuk bergabung bersama kami dalam pencarian mulia untuk perdamaian abadi.
Terima kasih. Tuhan memberkati Anda. Tuhan memberkati Israel. Tuhan memberkati Palestina. Dan Tuhan memberkati Amerika Serikat. Terima kasih banyak. Terima kasih.