Oleh: Suripto Joko Said
Pendahuluan
Sering dikatakan bahwa 2018 merupakan tahun politik, dimana sejumlah perhelatan politik bakal mendominasi sepanjang tahun ini sampai pada pemilihan umum serentak anggota legislatif dan presiden 2019. Adapun pada tahun 2018 ini perhelatan pemilihan kepala daerah digelar secara langsung. Namun yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah kondisi ekonomi, sosial, politik dan keamanan cukup kondusif memasuki tahun politik ini? Demikian juga faktor pengaruh luar negeri, bagaimana kontribusinya terhadap stabilitas politik domestik? Apakah national interest negara-negara asing, khususnya Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) akan turut “mewarnai” dalam pergulatan politik domestik?
Tahun Politik di Tengah Persoalan Ekonomi dan Menajamnya Kesenjangan
Tidak tercapainya target laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, yakni di bawah 5,2% menjadikan beratnya beban anggaran yang antara lain membebani banyak BUMN untuk merealisasikannya. Dengan APBN 2018 berupa belanja negara Rp2.220 triliun, sementara pendapatan negara sebesar Rp1.894,7 triliun. Di lain pihak pendapatan pajak tidak sesuai target. Hingga November 2017 baru mengoleksi penerimaan pajak sebesar Rp983,54 triliun atau hanya 76,63% dari target.
Melesetnya target pertumbuhan ekonomi dan target pajak, menjadikan beban ekonomi secara multiplier pada beban masyarakat. Sementara harga sejumlah kebutuhan pokok masyarakat sudah merangkak naik, seperti beras, daging dan telur ayam, minyak goreng, gas elpiji eceran.
Dampak sistematik dari turunnya daya beli masyarakat tersebut kemudian tertuju pada perusahaan-perusahaan selaku produsen barang-barang konsumsi. Rendahnya serapan konsumsi mengakibatkan perusahaan harus melakukan pengurangan kuantitas produksi, pengurangan harga jual barang dan pengurangan biaya produksi. Akibatnya pengurangan buruh pun dilakukan oleh perusahaan. Dengan kata lain pengurangan daya beli masyarakat berdampak sistemik terhadap PHK masal oleh perusahaan.
Memasuki perhelatan tahun politik yang rawan konflik di tengah-tengah kondisi sulitnya situasi perekonomian, menjadikan stabilitas sosial masyarakat rawan konflik. Apalagi kesenjangan sosial semakin tajam sebagaimana yang dilansir oleh Oxfam, bahwa sejak tahun 2000 pertumbuhan ekonomi telah meningkat di Indonesia. Namun manfaat dari pertumbuhan itu belum merata, dan jutaan orang telah tertinggal terutama perempuan. Dengan menggunakan patok garis kemiskinan moderat Bank Dunia yang sebesar US$25 miliar atau nyaris sama dengan kekayaan 40 persen orang termiskin di Indonesia.
Ketimpangan dalam pendapatan warga negara tidak hanya terlihat dalam bentuk angka-angka yang tertera secara statistik. Realitas di lapangan juga semakin terlihat secara kasat mata kesenjangan yang diikuti dengan marjinalisasi terhadap masyarakat. Misalnya adalah berdasarkan data dari Kementerian Pertanian pada 2010-2015, terdapat 23 juta hektar lebih perkebunan dari 15 komoditas. Setengah di antaranya adalah kelapa sawit. Dan hingga kini regulasi dan inisiatif produksi perkebunan kelapa sawit terus berjalan, khususnya palm oil plantation. Sehingga diprediksi perkebunan kelapa sawit akan terus massif jumlah arealnya ke depan. Apalagi dengan adanya kebijakan dari pemerintah untuk memberikan subsidi kepada 5 konglomerat sawit (Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company) sejumlah Rp7,5 triliun.
Artinya, kecenderungan konflik lahan akan meningkat kembali. Ide meningkatnya pembangunan infrastruktur akan pula membangun subur potensi konflik sumber daya alam dan lahan. Adapun kelompok yang paling rentan mengalami ancaman pembunuhan dan penganiayaan yang kerap kali mewarnai konflik adalah masyarakat sipil atau pembela HAM dan lingkungan yang mempertahankan tanah mereka.
Tebang Pilih dalam Penegakan Hukum dan Potensi Konflik Sosial
Penetapan pasal ujaran kebencian atau penindakan hukum oleh pihak kepolisian atas tuduhan persekusi terhadap individu atau pimpinan organisasi politik maupun keagamaan dan masyarakat, masih dinilai tebang pilih atau diskriminatif. Salah satu contohnya antara lain adalah, betapa mudah dan cepatnya pihak kepolisian mengenakan UU ITE lantas melakukan proses hukum yang disertai dengan penangkapan misalnya terhadap Ustadz Zulkifli Muhammad Ali, Asma Dewi, dan Buni Yani.
Sementara ujaran kebencian dan provokasi yang dilakukan oleh Viktor Laiskodat politisi Nasdem di Nusa Tenggara Timur, tidak juga direspon oleh aparat kepolisian dengan mengenakan UU ITE sebagaimana laiknya terhadap pihak-pihak yang mengkritik pemerintah. Fenomena seperti ini berpotensi untuk terjadinya aksi massa karena ketidakpercayaan terhadap aparat yang diskriminatif tersebut.
Rujukan dari aparat dalam mengenakan pasal ujaran kebencian undang-undang ITE, antara lain adalah ujaran yang diunggah pada media sosial. Seyogyanya pihak aparat tidak terlalu mudah dalam menafsirkan ujaran atau buah pikiran tersebut sebagai tindakan kriminal. Nampaknya sepak terjang aparat merupakan suatu refleksi ketakutan atau paranoid dari pemerintah terhadap kesadaran masyarakat atas kondisi sosial maupun berbagai praktek abuse of power dari pemerintah yang semakin diketahui oleh masyarakat melalui media alternative di luar media mainstream yang kadar obyektifitasnya semakin menurun karena keberpihakannya terhadap rezim penguasa yang dikendalikan oleh taipan.
Pilkada serentak 2018 akan menjadi salah satu titik tolak dan alat ukur bagi pemilihan Presiden 2019, bilamana sejumlah provinsi strategis berhasil dimenangkan oleh kandidat kepala daerah dari partai politik pendukung pemerintah, tentunya akan membantu memuluskan jalan bagi Jokowi untuk menjabat dua periode sebagai presiden.
Oleh karena itu kemenangan kandidat kepala daerah yang diusung oleh partai-partai politik pendukung pemerintah merupakan pekerjaan yang tidak hanya harus “disukseskan” oleh parpol-parpol pro pemerintah tersebut. Namun juga menjadi tugas bagi aparat keamanan dan intelijen untuk membantu kemenangan tersebut, sebagaimana yang juga telah dilakukan dalam Pilkada DKI 2017, walaupun mengalami kegagalan dalam memenangkan pasangan Ahok-Djarot yang merupakan kandidat yang dijagokan oleh rezim Jokowi.
Merujuk pada kegagalan Pilkada DKI 2017, maka disinyalir penggunaan aparat keamanan dan intelijen dalam Pilkada 2018 akan “all out”. Situasi ini akan mendorong untuk terjadinya konflik sosial baik secara horizontal antar konstituen kontestan maupun diantara aparat sendiri yang belum tentu bertindak dalam satu komando dalam memenangkan kandidat.
Power Struggle Elite
Di dalam elite pemerintah sendiri juga tidak luput dari rivalitas maupun internal power struggle yang saling intrik dan bersaing satu sama lain dengan diikuti gerbong politiknya masing-masing. Misalnya rivalitas di tubuh TNI pasca pergantian Panglima TNI dari Jenderak TNI Gatot Nurmantyo ke Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Hadi menganulir surat keputusan mutasi yang dikeluarkan Jenderal Gatot terhadap sejumlah perwira tinggi, mengakibatkan adanya ketegangan di lingkungan TNI.
Apalagi dengan “melesatnya” karir militer Letjen TNI Andhika Perkasa yang merupakan menantu Hendropriyono semakin mempertajam rivalitas dan regrouping di TNI AD. Sementara di lingkungan kabinet perbedaan kebijakan seringkali mencuat keluar yang diikuti dengan saling serang di media antar para pembantu presiden tersebut. Misalnya dalam contoh kasus kebijakan penenggelaman kapal oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi, yang ditentang secara terbuka oleh Menko Maritim Luhut Pandjaitan dan juga oleh Wapres Jusuf Kalla.
Perseteruan di kalangan TNI tidak sebatas Hendro Prijono yang disebut-sebut sebagai “actor”, tapi juga dengan Luhut Binsar Panjaitan pun disebut “actor” yang main dibelakang layar dalam konteks menganulir beberapa perwira tinggi yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Panglima TNI saat itu Jenderal Gatot Nurmantyo.
Selain itu perseteruan antara Jusuf Kalla dengan Menteri BUMN yang didukung Jokowi, tentang kebijakan impor beras adalah salah satu contoh perseteruan aktor-aktor di pusat pengambilan keputusan di level papan atas. Mana yang benar Bulogkah atau Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang secara riil ditetapkan sebagai importir?
Sementara itu terdapatnya dugaan korupsi yang membelit sejumlah pembantu presiden, juga menjadi beban karena berbagai dugaan tersebut tidak dilanjuti pemeriksaannya secara serius, seperti misalnya dalam kasus E-KTP yang membelit Menkum HAM Yasonna Laoly, ataupun kasus suap auditor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), terkait dengan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tahun 2016.
Dalam kasus ini Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo sempat diperiksa sebagai saksi oleh KPK. Demikian juga dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga pernah diperiksa sebagai saksi terkait kasus yang melibatkan Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Antonius Tonny Budiono.
Merujuk pada situasi dalam pemerintahan rezim Jokowi yang jauh dari pemerintahan yang efisien, solid dan terkoordinasi antar para pembantu dengan pimpinannya, ternyata saling intrik juga tidak luput dari pengaruh campur tangan asing. Contoh dalam hal ini antara lain adalah soal batalnya keberangkatan ke Amerika Serikat Panglima TNI pada tahun lalu sewaktu masih dijabat oleh Jenderal Gatot Nurmantyo.
Pengaruh Luar Negeri
Lebih luasnya lagi kepentingan asing di Indonesia cukup terasa perihal perebutan kepentingan geo strategis Amerika Serikat dan RRT di wilayah Asia Pasifik, khususnya dalam hal ini Indonesia. Misalnya perebutan pengaruh dalam kendali Sea Lanes Of Communication (SLOC) di alur Laut China Selatan, dimana RRT mengklaim sebagian wilayah tersebut sebagai perairannya melalui klaim “nine dash line”. Sementara AS tetap bersikukuh untuk menegaskan “freedom of navigation” melalui wilayah tersebut. Dalam hal ini walaupun Indonesia bukan sebagai claimants countries atas LCS, namun posisi politik Indonesia diperebutkan oleh kedua negara tersebut. Sehingga berbagai instrument politik luar negeri digunakan oleh negara-negara yang saling berebut pengaruh tersebut atas Indonesia. Misalnya kebijakan One Belt One Road (OBOR) dari RRT yang diikuti dengan implementasi investasi infrastruktur penunjang lainnya, merupakan salah satu contoh dari bagaimana RRT membangun sekutunya di wilayah Asia Pasifik. Lantas dalam hal investasi proyek infra struktur lainnya di Indonesia ternyata juga berdampak terhadap potensi gesekan sosial di masyarakat karena banyaknya tenaga kerja kasar dari RRT yang dibawa dari Negara tersebut untuk bekerja dalam proyek-proyek tersebut. Antara lain seperti di Banten, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Papua. Turn key project investasi asing yang mengikutsertakan selain modal tapi juga tenaga kerja asing dari level management hingga tenaga kerja/buruh kasar dalam satu paket.
Ancaman terhadap potensi berpisahnya Papua terasa semakin mengemuka, bukan hanya karena terjadinya sejumlah insiden bersenjata di wilayah tersebut. Namun upaya diplomasi dari para penggiat Papua Merdeka terasa semakin intensif. Hal ini bisa terjadi tentunya karena ada dukungan dari Negara lain. Dimana dalam hal ini negara-negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) seperti Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu sangat aktif dalam berbagai forum internasional untuk mengarahkan pada “kemerdekaan” Papua. Tentunya suara negara-negara tersebut dapat menjadi lantang karena adanya dukungan dari negara-negara barat khususnya Australia dan Amerika Serikat.
Merujuk pada fenomena, indikasi, dan informasi sebagaimana yang disebutkan diatas, maka tahun 2018 mengandung muatan kerawanan-kerawanan sosial yang berpotensi terjadinya gangguan dan ancaman terhadap stabilitas nasional. Kerawanan-kerawanan sosial tersebut berpotensi destabilisasi nasional, yang mana potensi itu boleh jadi merebak dari potensi menjadi destabilisasi actual dalam bentuk; kerusuhan massif, chaos, pemberontakan, disintegrasi bangsa Indonesia, revolusi maupun pertumpahan darah berupa perang saudara.
Adapun indikasi-indikasi destabilisasi aktual ini, yaitu bilamana “public distrust” sudah menghinggapi masyarakat umum terhadap institusi-institusi Negara, terutama eksekutif dan institusi penegak hukum. Apabila “public distrust” ini tidak mampu diatasi atau ditanggulangi maka indikasi-indikasi tersebut akan berkembang dan berlangsung terus sampai pada tingkat apa yang disebut “public disobedience”, sehingga pemicu apapun saja yang muncul akan disambut oleh massa dalam bentuk “ledakan sosial” (social disruption) seperti; kerusuhan sosial, pemberontakan-perlawananan rakyat.
Bagaimana membaca indikasi, fenomena dan informasi yang berpotensi destabilisasi itu?
Pertama, Jika para perwira tinggi yang dianulir merasa sakit hati hingga jadi BSH (Barisan Sakit Hati) lantas didukung atau disambut oleh perwira-perwira purnawirawan lainnya hingga jadi suatu gerakan yang efektif dalam menentang kemapanan dan memelopori suatu bentuk perubahan sosial.
Kedua, Jika “kelas menengah” mau turun ke jalan memelopori tuntutan masyarakat kelas bawah dalam menuntut “keadilan sosial” sehingga menjadi “people movement” yang terukut, terstruktur dan teratur. Sementara itu parpol-parpol tidak peduli kepada isu dan masalah-masalah yang bersumber pada ketidakadilan sosial.
Ketiga, Jika perseteruan di kalangan lapisan elit atas semakin meruncing, saling jegal dan sabotase satu sama lain, tidak peduli kepada nasib bangsa, rakyat dan Negara, tapi hanya mementingkan kepentingan sendiri (transaksional – pragmatisme). Sementara itu mereka membangun persekongkolan kepada para oligark yang tamak dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya mineral Indonesia.
Keempat, Apabila para oligark di Indonesia itu adalah bagian dari kepentingan “state capitalism” dan “corporate capitalism” maka intervensi asing akan dahsyat dalam memecah belah bangsa Indonesia, sehingga potensi disintegrasi sudah diambang pintu NKRI.
Kelima, “Stomach can’t wait” (perut lapar tak bisa tahan) memicu lapisan kelas bawah untuk “amock” (mengamuk penuh emosi diluar kesadaran).
Keenam, Peran media sosial dalam membangun kesadaran masyarakat untuk membaca situasi dan kondisi sesuai dengan realita terkini.
Ketujuh, Penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana harapan masyarakat (rule of the ruller).
Kedelapan, Political Will yang efektif yang muncul dari rakyat sendiri yang benar-benar terstruktur, terukur, dan teratur yang menuntut sesuai dengan harapan mayoritas masyarakat yang selama ini diperlakukan tidak adil.