Berita  

Politik ‘Mudzabdzabiin’

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)

Tulisan ini bisa dilihat sebagai kegalauan, boleh juga sebagai peringatan, bahkan kritikan dan bentuk kekecewaan. Tergantung siapa yang membacanya dan dengan sentimen bagaimana mengukurnya.

Saya mungkin memang tidak paham politik karena memang saya bukan politisi. Saya juga tidak paham praktik politik karena saya bukan praktisi politik. Saya hanyalah seorang rakyat yang sadar dan peduli politik. Dalam melihat pergerakan politik juga saya hanya selalu memakai “common sense” saya yang lugu dan apa adanya.

Keluguan common sense saya inilah barangkali yang sering menjadikan saya kebingungan dalam melihat hiruk pikuk dan sepak terjang politik itu. Semakin saya ikut derap langkah dan arah tiupan angin politik itu semakin membingunkan pula. Seringkali pada akhirnya yang tumbuh hanya pikiran yang bukan-bukan (negative thinking).

Beroposisinya atau sebaliknya berkoalisinya antara partai-partai politik misalnya seringkali membingungkan bagi saya, dan saya yakin bagi banyak orang awam. Orang-orang awam yang sejatinya adalah rakyat yang diwakili oleh elit-elit politik itu. Di tingkat nasional saling sikut dan sikat, bahkan ada dorongan hawa nafsu untuk saling merusak dan mengeliminir. Namun, tidak jarang di lain waktu dan di daerah pemilihan lainnya partai-partai yang saling sikut dan sikat itu ternyata saling merangkul.

Keadaan ini membuat banyak konstituen, termasuk yang di luar negeri atau diaspora seperti saya bertanya-tanya. Ada apa semua itu? Apakah ketika mereka berseteru mereka memang serius karena melihat ada perbedaan prinsip dan visi? Atau apakah perseteruan itu hanya basa basi politik untuk kepentingan sesaat?

Sebaliknya bagaimana pula dengan koalisi dalam perhelatan politik lainnya? Apakah kerjasama itu dibangun di atas dasar persamaan prinsip dan visi partai? Ataukah ada faktor-faktor sesaat yang menjadi pendorong? Apakah prinsip dan visi partai tidak lagi menjadi acuan ketika ada kepentingan sesaat itu?

Ambillah sebagai misal partai-partai yang mengaku mengusung visi kebenaran, keadilan dan kesejahteraan  bersama, serta dengan misi perjuangan untuk penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mengedepankan pengabdian kepada rakyat di atas kepentingan kelompok. Wajarkah jika partai-partai dengan visi demikian bergandengan tangan dengan partai-partai yang jelas dalam derap langkahnya mendukung sekularisme, hedonisme bahkan boleh jadi komunisme? Partai yang dalam sejarahnya kerap menjarah aset-aset negara untuk kepentingan kelompok tertentu? Bahkan hingga saat ini pun langkah kebijakan partai itu jelas-jelas mendukung pihak-pihak yang merugikan kepentingan rakyat mayoritas negara ini.

Apalagi jika partai-partai yang menumpang di atas kebesaran nama Islam sebagai dasarnya apakah masih dianggap wajar-wajar saja berangkulan dengan partai-partai yang demikian?

Terlepas dari strategi politik apapun yang akan dipakai sebagai pembenaran koalisi itu, “common sense” saya menolaknya. Saya yakin sekali jika mayoritas konstituen partai-partai politik itu sejalan dengan sikap saya ini.

Saya lebih jauh bahkan curiga, dan mudah-mudahan salah, jika partai-partai yang selama ini mendeklarasikan diri sebagai partai bersih, berintegritas, mendukung keadilan, menegakkan nahi mungkar, dan mengedepankan pelayanan rakyat di atas kerakusan kekuasaan semata mulai kehilangan jati dirinya. Di saat partai-partai itu berangkulan dengan partai-partai yang jelas anti nilai-nilai keadilan serta tidak berpihak kepada rakyat banyak maka itu adalah pelecehan terhadap nilai-nilai yang diusungnya.

Atau mungkin lebih tepat jika saya memberikan nama kepada partai-partai itu dengan partai “mudzabdzabiin” atau partai yang terombang ambing oleh kepentingan sesaat, apapun manifestasinya.

Saya sebagai orang yang tidak berpolitik, tapi peduli politik, punya harapan besar kiranya partai-partai harapan umat dan rakyat yang termarjinalkan itu selalu punya posisi yang jelas dan tegas berdasarkan prinsip dan visi yang diusungnya.  Apalah arti sebuah prinsip jika hanya ada di atas kerta atau retorika kampanye semata. Tapi ketika bersentuhan dengan kepentingan sesaat dengan enteng nilai-nilai dan visi mulia itu dengan enteng dikesampingkan, bahkan dilecehkan dengan beribu justifikasi yang dibuat.

Dan semakin memuakkan pula ketika uang menjadi “maha” tunggal dalam proses itu. Permainan uang dalam politik memang jahat. Selain merendahkan nilai-nilai mulia yang diperjuangkan, begitu mudah menjual idealisme, juga menunjukkan immoralitas sebagian politisi yang mengaku memperjuang al-haq (kebenaran) dan al-adl(keadilan).

Tinggalkan Balasan