Jakarta, KabarBerita.id — DPR menggunakan dua istilah baru yaitu Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dalam Revisi Undang-undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). Drafnya sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas DPR 2021.
Ada sejumlah perubahan mengenai penyelenggaraan Pemilu Daerah bila dibandingkan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016. Pemilu Daerah sendiri merupakan istilah baru yang berarti pemilihan kepala daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali kota/Wakil Wali Kota.
Berikut poin-poin krusial tentang Pemilu Daerah dalam draf revisi UU Pemilu.
Pilkada Digelar 2022-2023, Bukan 2024
RUU Pemilu mengatur tentang rencana pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak selanjutnya pada tahun 2022 dan 2023.
Pasal 731 Ayat (2) draf revisi UU Pemilu mengatur Pilkada 2022 akan diikuti oleh 101 daerah yang menggelar pilkada pada 2017. Provinsi DKI Jakarta termasuk di antaranya. Lalu, Pasal 731 Ayat (3), Pilkada 2023 akan diikuti oleh daerah yang menggelar pilkada pada 2018.
Tidak seperti ketentuan di UU Pilkada yang saat ini berlaku, yang mana pilkada serentak di seluruh provinsi, kabupaten dan kota digelar pada 2024 bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD dan presiden.
Pemilu Daerah Serentak 2027
Setelah gelaran Pilkada 2022 dan 2023 rampung, pesta pemilihan kepala daerah di Indonesia nantinya akan berganti istilah menjadi Pemilu Daerah.
Pemilu Daerah merupakan ajang kontestasi pemilihan kepala daerah seluruh Indonesia secara serentak. Dengan kata lain, Pemilu Daerah akan digelar di 34 Provinsi, 98 Kota dan 416 Kabupaten dalam waktu yang bersamaan.
Dalam draf RUU Pemilu Pasal 734 Ayat (1), Pemilu Daerah akan digelar untuk pertama kalinya di Indonesia pada tahun 2027. Untuk penyelenggaraan selanjutnya, Pemilu Daerah akan rutin digelar setiap lima tahun sekali.
“Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali,” bunyi Pasal 734 Ayat (1).
Eks HTI dan PKI Tak Bisa Nyalon
Dalam draf revisi UU Pemilu yang diusulkan DPR, mantan anggota organisasi terlarang di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setara dengan eks Partai Komunis Indonesia (PKI). Eks anggota HTI dilarang untuk berpartisipasi sebagai peserta pemilihan calon kepala daerah.
Pasal 182 Ayat (2) huruf jj dalam draf revisi UU Pemilu mengatur persyaratan pencalonan bagi peserta pemilu bukan bekas anggota HTI.
“Bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),” bunyi pasal 182 Ayat (2) tersebut.
Selama ini, larangan bagi eks HTI tak pernah ditulis secara tersurat dalam UU Pilkada sebelumnya.
Pemilu Daerah Dibiayai APBN
RUU Pemilu juga mengatur tentang pembiayaan penyelenggaraan Pemilu Daerah nantinya akan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pasal 11 Draf RUU Pemilu mengatakan Pemilu Daerah dan Pemilu Nasional dibiayai APBN sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
“Penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dibiayai oleh APBN sesuai dengan kemampuan keuangan negara,” bunyi Pasal 11.
Tidak seperti ketentuan di UU Pilkada sebelumnya, biaya pemilihan kepala daerah, baik Gubernur, bupati dan wali kota dibebankan kepada APBD.
UU Pilkada *yang berlaku saat ini* juga mengatur APBN hanya sebagai pendukung APBD yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.