PKS Kritik Rencana Interpretasi UU ITE, Tetap Dukung Revisi

Jakarta, KabarBerita.id — Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Achmad Dimyati Natakusumah mengkritik Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate yang mendorong pembuatan pedoman interpretasi dibandingkan merevisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurutnya, langkah tersebut tidak akan menyelesaikan masalah utama dari UU ITE.

“[Direvisi saja], karena interpretasinya tetap sulit antarpihak, kan UU harus dijalankan. Kalau tidak dijalankan, buat pedoman, masa pedoman keliru?” kata Dimyati saat dihubungi, Rabu (17/2).

Dia menyatakan, keberadaan UU ITE telah menyudutkan posisi polisi di tengah masyarakat. Menurutnya, polisi akan berada di posisi yang dilematis karena salah bila tidak menerapkan UU ITE, namun dianggap mengkriminalisasi bila menerapkan UU ITE.

“Kasihan polisi, kasihan penegak hukum sehingga dianggap tidak equality before the law, tidak due process of law, karena problemnya kasihan Kapolri, tidak menjalankan salah, menjalankan dianggap kriminalisasi, dan sebagainya,” ucap Dimyati.

Ia menerangkan, pembuatan pedoman interpretasi tanpa merevisi UU ITE tidak akan menyelesaikan masalah yang ada saat ini. Pasalnya, kata Dimyati, pedoman interpretasi yang dibuat nantinya harus tetap mengacu pada UU ITE.

Dimyati pun menyatakan bahwa UU ITE telah memberikan proteksi yang berlebihan dan melahirkan ketakutan di tengah masyarakat.

“Kalau pedoman dibuat tidak boleh bertentangan dengan UU. Sedangkan, UU-nya sudah dibuat seperti itu, Pasal 26 sampai 45, mau tidak mau harus dilaksanakan, jangan disudutkan ke Polri, Bareskrim,” katanya.

Lebih lanjut Dimyati mengingatkan, Indonesia akan segera memasuki era 5.0, di mana negara seharusnya lebih memberikan jaminan terhadap kemerdekaan penyampaian pendapat dan kritik.

Berangkat dari itu, menurutnya, pemerintah harus membuat definisi yang jelas tentang pasal penghinaan di UU ITE. Menurutnya, tidak boleh semua perbuatan dikaitkan dengan ujaran kebencian, perbuatan tidak menyenangkan, dan dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.

“Sekarang, zamannya 4.0, sebentar lagi 5.0. Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan menyampaikan kritik, kemerdekaan menyampaikan pendapat, kalau pasal penghinaan tulis saja pasal penghinaan, jangan lantas semua dikaitkan dengan ujaran kebencian, perbuatan tidak menyenangkan, semua dianggap perbuatan melawan hukum,” tuturnya.

Sebelumnya, Johnny mendukung pembuatan pedoman interpretasi UU ITE oleh lembaga yudikatif serta kementerian/lembaga terkait.

Pedoman ini dibuat untuk memperjelas penafsiran atas beberapa pasal dalam UU ITE.

“Kominfo mendukung Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian/Lembaga terkait dalam membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran,” tegasnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (16/02).

Menurutnya, UU ITE memiliki semangat untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, bahkan produktif.

“Semangat UU ITE sebetulnya adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif,” tuturnya.

Tinggalkan Balasan