PKS Kritik Pemerintah Represif Jalankan Vaksinasi Covid-19

Jakarta, KabarBerita.id — Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kurniasih Mufidayati mengkritik pemerintah terkait penggunaan pendekatan represif kepada publik dalam program vaksinasi virus corona (Covid-19).
Menurutnya, pola pendekatan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

“Peraturan tersebut lebih menekankan pada pendekatan represif ketimbang tindakan persuasif oleh pemerintah,” kata Mufida, Senin (15/2).

Dia membeberkan pola pendekatan represif terlihat jelas di Pasal 13 A ayat (4) di mana pemerintah mengatur bahwa masyarakat yang menolak mengikuti program vaksinasi Covid-19 akan mendapatkan sanksi berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial (bansos), penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintah, hingga denda.

Berangkat dari itu, ia mengingatkan kesepakatan antara Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat pada 14 Januari 2021. Kesepakatan itu terkait regulasi yang dibuat pemerintah dalam program vaksinasi Covid-19 tidak akan mengedepankan ketentuan peraturan denda dan atau pidana.

Menurutnya, Perpres Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 telah mencederai kesepakatan rapat di DPR tersebut.

“Kami ingatkan pemerintah hasil Rapat Kerja Komisi antara DPR dan Pemerintah sesuai UUMD3 pasal 98 ayat 6 menyebut kesimpulan rapat kerja antara DPR dan pemerintah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pemerintah. Keluarnya Perpres soal sanksi vaksinasi mencederai kesimpulan Rapat Kerja ini,” ujar Mufida.

Ketua DPP PKS itu pun menyayangkan pendekatan represif yang digunakan pemerintah itu. Menurutnya, jaminan dan bantuan sosial serta layanan administrasi pemerintah merupakan hak-hak dasar warga negara yang sudah seharusnya dipenuhi oleh pemerintah.

Mufida berkata, pemerintah seharusnya mengutamakan sosialisasi, edukasi, dan tindakan persuasif dalam pelaksanaan vaksinasi Covid-19, bukan mengancam akan mengkebiri hak masyarakat.

“Sikap pemerintah yang menggunakan bansos sebagai alat agar masyarakat menjadi patuh merupakan tindakan yang sangat disayangkan. Masyarakat kita banyak yang belum teredukasi terkait program vaksin ini. Sebagian masyarakat bahkan masih merasa khawatir dan takut untuk divaksin,” kata Mufida.

Sebelumnya, Juru Bicara Jokowi, Fadjroel Rachman, menyatakan bahwa Jokowi selalu mengedepankan pendekatan humanis, dialogis, dan persuasif dalam pemberian vaksin Covid-19 terhadap seluruh rakyat Indonesia.

Menurutnya, aspek gotong royong dan kesukarelaan rakyat lebih diutamakan daripada pemberian sanksi administrasi dan pidana dalam regulasi yang telah diterbitkan oleh pemerintah.

“Gotong royong dan kesukarelaan 181,5 juta rakyat Indonesia yang akan divaksinasi lebih diutamakan daripada sanksi administrasi dan sanksi pidana yang secara positif ada di dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2021 maupun UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular,” kata Fadroel lewat akun Twitter-nya, @JubirPresidenRI, Senin (15/2).

Sebelumnya, Jokowi telah menerbitkan Perpres Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

Dalam beleid tersebut, tertulis ancaman sanksi bagi warga sasaran vaksinasi Covid-19 yang melakukan penolakan. Sanksi tersebut diantaranya penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bansos, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, atau berupa denda.

Sasaran vaksinasi Covid-19 sendiri sebanyak 181 juta warga untuk memenuhi herd immunity atau kekebalan kelompok terhadap Covid-19. Dibutuhkan sekitar 426 juta dosis vaksin Covid-19 untuk mencapai target tersebut.

Tinggalkan Balasan