Oleh Dr.Kurniasih Mufidayati, M.Si.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI
Masih terngiang pada 2017 Kemensos melansir data Indonesia, negeri yang kita cintai masuk tiga besar jajaran fatherless country. Data yang sama diperkuat studi Psikolog Elly Risman dari 33 provinsi. Ditemukan waktu anak bertemu ayahnya hanya 65 menit perhari. Studi ini menguatkan Indonesia salah satu negara paling “yatim” di dunia.
Apa itu fatherless country? sederhananya adalah situasi keluarga yang ayahnya masih ada tapi tidak dirasakan keberadaannya oleh keluarga.
Fatherless adalah kondisi keluarga utuh secara jumlah, tapi alpha secara kehadiran sosok ayah. Ayah bukan hanya diperlukan kehadirannya secara fisik atau sekadar memberi nafkah. Ayah, diperlukan kehadirannya sebagai mitra ibu dalam pengasuhan. Hadir dalam kasih sayang, hadir sebagai teladan, hadir menjadi teman, hadir dalam kepemimpinan.
Indonesia yang berpenduduk 270 juta ternyata mengalami gejala hilangnya ‘sosok’ ayah dalam keluarganya. Ini menjadi tantangan besar. Apalagi bangsa ini sedang bersiap menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.
Siapakah yang mengisi Indonesia Emas 2045 nanti? Pastilah mereka anak-anak kita, anak-anak yang kini masih balita atau bahkan baru lahir. Anak-anak yang begitu hadir di bumi Nusantara, menghadapai tantangan yang tidak mudah. Salah satu yang masih menjadi ancaman serius adalah stunting.
Keluarga, dalam hal ini ayah, ternyata bisa berperan amat besar dalam menghindarkan sang buah hati dari ancaman stunting. Sebab, sekali lagi ayah yang hadir dalam keluarganya akan menjadi pelindung dan pendukung utama bagi keluarga dalam menghadapi setiap ancaman. Salah satunya dari stunting.
Stunting ancaman generasi
Stunting itu ancaman nyata yang terpampang di depan nyata tapi tak pernah kita anggap terlalu serius. Padahal ancaman paling serius dari stunting adalah hilangnya nyawa.
Balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.
Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak,dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.
Apakah kita akan berharap generasi mendatang adalah generasi yang lemah. Padahal dalam Islam, perintahnya amat jelas. Kita dilarang keras untuk meninggalkan generasi yang lemah.
Sebab itu, kita mitigasi apa penyebab utama stunting di Indonesia sehingga kita bisa melakukan tindakan alternatif solusi. Menurut data WHO, penyebab pertama stunting adalah tidak cukupnya anak mendapatkan ASI dalam 6 bulan pertama. Baru 52% bayi di Indonesia yang mendapat ASI ekslusif di 6 bulan pertama. Angka yang sangat tinggi dengan rasio penduduk Indonesia yang juga besar.
Penyebab kedua, tidak cukup mendapatkan Makanan Pendamping ASI (MPASI) pada masa pertumbuhan emas. Lalu keluarga kurangmemperhatikan asupan gizi di 1000 hari pertama kelahiran.
Penyebab selanjutnya karena infeksi berulang. kenapa hal ini bisa terjadi? Pertama karena kurangnya akses ibu dan anak ke fasilitas layanan kesehatan dan pola hidup tidak bersih.
Penyebab stunting selanjutnya adalah kurangnya stimulasi psikososial. Bayi dan balita kurang mendapat interaksi sosial yang cukup dan diajak berinteraksi.
Peran Ayah atasi Stunting
Setelah mengetahui beberapa penyebabnya, kita bisa fokus pada pemilihan alternatif solusi. Jika dilihat secara kasat mata, ayah seperti tidak berhubungan langsung dengan tindakan pencegahan stunting. Seolah-olah, semua ini adalah tanggung jawab ibu dan calon ibu.
Sebab, pencegahan stunting selalu disebutkan tentang 1.000 hari pertama kehidupan. Masyarakat memahami bahwa pada masa kehamilan, kelahiran dan pengasuhan dua tahun pertama adalah tanggung jawab sang ibu.
Pemahaman ini harus diluruskan. Sebab anak adalah tanggung jawab bersama. Peran ayah adalah sama besarnya dengan peran ibu pada masa krusial ini. Ibu yang dalam kondisi lemah dan kepayahan saat hamil, harus mendapatkan dukungan penuh dari ayah untuk bisa melewati masa-masa tersebut.
Apa saja yang bisa dilakukan para ayah? Pertama membangun kebiasan dan pola hidup bersih dan sehat di rumah. Ayah adalah teladan dan panutan pertama bagi sang buah hati. Para ibu pasti pernah merasakan, sudah berkali-kali menasihati anak tapi tak pernah didengar. Namun, sekali ayah bertitah sang buah hati langsung menurut.
Ini tentang wibawa kepemimpinan keluarga. Ayah memegang peranan besar dalam menghadirkan contoh keteladaan itu dalam keluarga. Termasuk membiasakan keluarga untuk menjalani pola hidup bersih dan sehat. Membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci baru bukanlah tanggung jawab ibu semata. Namun, tanggung jawab yang bisa dibagi dengan adil kepada seluruh anggota keluarga. Ayah bisa menjadi contoh bahwa rumah yang bersih dan tata kebiasaan yang sehat bisa dilakukan sedari dini.
Kedua, mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pemenuhan kecukupan gizi dan menghindari konsumsi untuk hal yang tidak berguna. Kami cukup sedih mengetahui fakta bahwa anggaran rokok bagi keluarga miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan ternyata mengalahkan anggaran untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga.
Seorang ayah perokok akan menghabiskan 22% anggaran rumah tangga per minggu hanya untuk membeli rokok. Ini hanya satu bagian yang perlu dievaluasi dalam prioritas keuangan keluarga. Menjadi kepala rumah tangga memang tidak mudah. Namun, itu adalah tanggung jawab besar yang sudah berani diambil oleh para suami dan ayah.
Sehingga memastikan anggota keluarga mendapatkan pemenuhan gizi yang cukup dan seimbang juga menjadi satu bagian tanggung jawabnya. Ingat, makanan gizi berimbang tidak identik dengan mahal. Ada banyak pilihan pemenuhan gizi yang cukup dan berimbang dengan anggaran yang tidak mahal. Diskusi antara ayah dan ibu penting dilakukan untuk memastikan anggota keluarga tetap mendapatkan asupan gizi seimbang dan mengurangi pengeluaran yang justru bisa membuat kondisi keluarga tidak dalam kondisi sehat.
Ayah juga harus mendukung ibu dan calon ibu selama proses hamil dan menyusui. Saat ibu hamil dan menyusui, perubahan bukan hanya pada fisik tapi juga mental. Sebab itu, dukungan yang diberikan juga bisa berupa menciptakan kondisi yang baik dan sehat untuk mental kaum ibu.
Menguatkan mental dan semangat ibu dalam proses hamil dan menyusui dan mendampingi dalam proses pemeriksaan kehamilan. Salah satunya dengan mendampingi dan memastikan pemeriksaan kehamilan sesuai jadwal.
Lalu yang juga penting memberikan lingkungan yang kondusif bagi ibu untuk bisa melakukan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama. Ada istilah Ayah ASI yang mulai dipopulerkan karena memang pada masa pemberian ASI, ayah juga memegang peranan amat penting. Ayah yang mendukung ibu baik secara fisik dengan asupan makanan dan vitamin baik serta psikis dengan memberikan kenyamanan akan membuat sang ibu lebih mudah dan lancar dalam memberikan ASI.
Ayah juga bisa menjadi partner ibu dalam mengawasi tumbuh kembang bayi dan balita. Sosok ayah bisa memberikan informasi dari berbagai sumber terpercaya tentang bahaya stunting dan upaya pencegahannya kepada ibu. Ayah cenderung punya akses informasi yang lebih baik dalam sisi ini.