Pekanbaru, Kabarberita.id – Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Riau, DR. Erdianto Effendi mengatakan, Presiden RI Joko Widodo berhak memberikan grasi pada Abu Bakar Ba’asyir.
“Namun kalau pembebasan bersyarat itu bukan kewenangan Presiden tetapi murni proses hukum, jika pidana sudah dijalani 2/3 dari masa pidananya,” kata Erdianto di Pekanbaru, Selasa.
Menurut dia, jika menempuh cara ini ketika pidana sudah dijalani 2/3 dari masa pidananya, maka seorang terpidana dan penegak hukum tunduk pada UU Pemasyarakatan.
Ia mengatakan, pembebasan bersyarat adalah hak narapidana, sedangkan grasi bukan hak napi melainkan hak Presiden, yang lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam Permenkumham No. 3Tahun 2018.
“Jika menempuh cara pembebasan bersyarat memang mau tidak mau wajib mengikuti syarat yang telah ditentukan, meskipun pelaksanaan pidana bukan bagian dari hukum acara pidana,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa pelaksanaan pidana juga seperti hukum acara pidana harus bersifat “lex certa dan lex stricta”, atau tegas dan jelas. Tidak ada wilayah tafsir di situ, namun jka ada keinginan membebaskan, Presiden dapat memberikan grasi.
Erdianto menjelaskan, pemberian grasi adalah hak prerogatif Presiden untuk mengubah bentuk hukuman bagi seorang terpidana, bisa berbentuk penghapusan, pengurangan atau perubahan jenis hukuman.
Namun demikian, katanya, dalam pemberian grasi Presiden tetap meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Pemberian grasi terkait kapasitas Presiden sebagai Kepala Negara. Siapa yang akan diberikan grasi bisa atas permohonan, grasi diatur dalam UU no 22 tahun 2002.
“Karena berkaitan dengan kapasitas sebagai Kepala Negara maka Presiden seharusnya juga menimbang rasa keadilan di tengah masyarakat,” katanya.
- Ia merinci, bahwa grasi diadakan sebagai bentuk kepedulian kepala negara kepada warga negara, namun demikian Kepala Negara harus menjadi pengayom kedua belah pihak, pelaku dan korban.