Pengakuan Muslim Uighur Dipaksa Pisah dengan Anak Mereka

Jakarta, KabarBerita.id — Tindakan keras China terhadap Muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang dilaporkan telah memisahkan ribuan anak dari orangtuanya.
Dua keluarga yang pernah tinggal di Xinjiang mengisahkan bagaimana Pemerintah China memisahkan mereka dengan anak-anak mereka.

Keluarga Mamutjan dan Ablikim mengungkap beragam cara mereka tempuh untuk bisa kembali berkumpul dengan orang-orang dicintai.

Pada 2015, istri Mamutjan, Muharem membawa anak-anaknya dari Malaysia untuk kembali ke Xinjiang, China agar mendapat paspor baru.

Paspornya diperbarui pada 2016, namun karena alasan finansial Muharem menundanya. Tahun 2017 dokumen perjalanan dan anak-anaknya disita pihak berwenang.

Namun mereka justru terjebak dalam tindak kekerasan yang dilakukan pemerintah terhadap minoritas Muslim di Xinjiang.

Mamutjan menceritakan keluarganya yang beretnis Uighur tidak dapat meninggalkan China, di sisi lain dirinya sangat berpotensi dipenjara atau ditahan jika memaksa kembali ke Xinjiang.

Sebelum 15 April 2017, Mamutjan kerap mengobrol dengan istri dan anak-anaknya setiap hari. Tetapi pada pertengahan April 2017, dia menghilang dari aplikasi perpesanan China, WeChat.

“Saya menelepon ke rumah keesokan harinya dan ibu saya memberitahu saya bahwa dia pergi untuk waktu yang singkat, untuk kursus belajar singkat. Dan saya menyadari bahwa dia ditahan.”

Pada Mei 2019, ia melihat video anaknya yang diunggah di media sosial dengan penuh semangat berteriak, “Ibuku sudah lulus!”

China menghadapi sanksi internasional atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia atas minoritas Muslim Uighurdi Xinjiang.

China sendiri selalu membantah dugaan pelanggaran HAM itu.

Beijing mengklaim bahwa mereka menampung para Uighur itu di kamp pelatihan yang bertujuan untuk memberikan edukasi lebih baik demi memberantas ekstremisme di Xinjiang.

Pemerintah China menganggap kamp-kamp di sana sebagai pusat pelatihan kejuruan dan para tahanannya disebut pelajar.

Mamutjan kini tinggal di Adelaide, Australia. Minggu ini melacak keberadaan anak Mamutjan, Muhlise (10) di rumah kakek-nenek dari pihak ayah di kota Kashgar, selatan Xinjiang.

“Aku merindukannya,” kata Muhlise soal ayahnya, seketika tangisnya pecah. Sejak 2017 lalu, ia tidak berbicara dengan ayahnya.

Dari Adelaide, Mamutjan menonton video itu, sekuat tenaga ia menahan agar air matanya tak jatuh.

“Saya tidak percaya tinggi putri saya sekarang, negara macam apa yang melakukan ini kepada orang-orang yang tidak bersalah? keluh Mamutjan.

Mengenai istri Mamutjan yang diduga dibebaskan sampai sekarang belum diketahui keberadaanya.

Menurut penuturan Muhlise, ibunya berada di rumah nenek yang lain. Tapi saat dikonfirmasi tak ada siapapun. Pihak berwenang China juga tak menjawab ketika dimintai keterangan.

“Ibuku tidak ada di sini, dan ayahku juga tidak ada di sini. Aku ingin bertemu kembali dengan mereka,” ujar Muhlise, mendengar pernyataan itu neneknya seketika menangis.

Mamutjan yakin bahwa pemerintah China memisahkan orang tua dari anak-anaknya sebagai cara untuk mengintimidasi dan mengendalikan kelompok minoritas Xinjiang.

“Ini pada dasarnya adalah hukuman kolektif untuk etnis dan agama mereka serta nilai-nilai budaya mereka yang unik. Kami tidak pantas menerima semua penderitaan yang luar biasa ini,” ucap dia.

Keluarga yang lain, yakni Mamtinin Ablikim dan istrinya Mihriban Kader mengatakan terpaksa melarikan diri dari Xinjiang setelah hamil anak keenam mereka.

Berdasarkan kebijakan China pada tahun 2017 setiap keluarga di kota Xinjiang hanya diizinkan memiliki dua anak, sementara yang di desa tiga anak.

Setiap ada kelahiran baru, ia mengaku menyuap dan membayar pejabat setempat. Namun mereka mengaku telah diberi peringatan.

Ablikim menyampaikan jika mereka tetap di Xinjiang istrinya akan dipaksa aborsi.

“Mereka akan memenjarakan saya karena memiliki enam anak,” katanya.

Mereka berhasil mendapat visa turis ke Italia. Namun agen perjalanan mereka mengatakan kelima anaknya tak bisa mendapat visa. Hanya yang termuda yang dapat visa.

Setelah menetap di Italia, ia berharap bisa bertemu kembali dengan anak-anaknya.

Namun ketika tindakan kekerasan semakin masif di Xinjiang, Ablikim dan Mahriban mulai khawatir dengan keberadaan anaknya.

Dokumen visa untuk anak mereka sudah disetujui pemerintah Italia pada tahun 2019, namun paspor anak-anak itu akan segera kedaluwarsa. Para orang tua mengatakan pihak berwenang akan mengirim anak-anak tersebut ke panti asuhan milik negara.

Pada tahun 2020, melalui sepupunya yang di italia anak-anak Ablikim bisa melakukan perjalanan jauh.

Tetapi ketika mereka pergi ke konsulat Italia di Shanghai untuk mengambil visa mereka, anak-anak tersebut mengatakan mereka ditahan oleh penjaga keamanan Tiongkok di lobi gedung.

Singkat cerita mereka ditolak karena dokumen izin visa tak dikenali dan anak di bawah umur harus didampingi oleh orang dewasa. Mereka juga mengatakan keempatnya harus mendaftar di Beijing, yang berada di bawah penguncian Covid-19 pada saat itu.

Sepupu yang membantu perjalanan pada akhirnya kehilangan kontak anak-anak tersebut.

Di pusat kota Payzawat, sekitar satu jam perjalanan dari Kashgar. Dengan izin orang tua berusaha menemukan keempat bersaudara, yang katanya tinggal di panti asuhan milik negara tetapi pejabat setempat tidak mengizinkan tim untuk mengunjungi anak-anak tersebut.

Akhirnya, apat terhubung dengan Yehya, anak tertua kedua, melalui video call WeChat, itupun tetap dengan pengawasan ketat. Ketika ditanya apakah dia ingin bertemu kembali dengan orang tuanya, dia berkata, “Saya bersedia.”

Baru-baru ini, anak-anak mengirim foto mereka berempat berdiri di depan kawat berduri. Gambar lain yang mereka kirim mengatakan dalam bahasa China, “Ayah, Ibu, kami merindukanmu.”

Terlepas dari kesulitan yang mereka hadapi, Mihriban dan Ablikim mengatakan mereka tidak akan berhenti berusaha demi anak-anaknya.
“Saya tidak akan pernah menyerah sampai saya membawa kembali anak-anak saya dengan selamat dan bergabung kembali dengan keluarga saya,” kata Mihriban.

Sementara Ablikim mengajukan permohonan langsung terakhir kepada pemimpin China Xi Jinping, agar mengizinkan anak-anaknya terbang ke Italia dan bersatu kembali dengan orang tua mereka.

“Presiden China,” kata Ablikim. “Aku hanya ingin kamu membawa anak-anakku kembali.”

Dalam sebuah laporan yang dirilis Maret, lebih dari 50 ahli hukum internasional menyebut pemindahan anak-anak China dari keluarga Uighur sebagai pelanggaran Konvensi Genosida PBB.

Di bawah konvensi tersebut, “memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok (etnis) ke kelompok lain” dianggap sebagai tindakan genosida, jika dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok yang dilindungi. Para ahli menemukan hal itu terjadi di Xinjiang.

Berdasarkan dokumen pemerintah China yang tercantum dalam laporan itu, antara 2017 dan 2019, jumlah anak yang dipisahkan dari keluarga mereka di Xinjiang dan ditempatkan di sekolah berasrama meningkat 76,9 persen. Dari yang tadinya di bawah 500 ribu menjadi 880.500 anak.

Sejarawan Uighur, sekaligus dosen senior di Universitas Manchester Rian Thum, mengatakan penempatan anak-anak di panti asuhan yang dikelola negara adalah bagian dari strategi pemerintah China untuk mencoba mengasimilasi populasi Uighur.

“Ini adalah kebijakan yang tersebar luas secara konsisten, mereka memiliki terminologi khusus untuk itu,” kata Thum.

“Kami melihatnya tak hanya di satu atau dua area, kami dapat melihatnya di seluruh wilayah Uighur.”

Pemerintah China membantah telah berusaha menghapus budaya Uighur, dengan mengatakan mereka menghormati semua etnis dan agama minoritas China.

Pada konferensi pers di bulan Februari, juru bicara pemerintah Xinjiang mengatakan ada berbagai alasan mengapa orang Uighur di luar negeri mungkin kehilangan kontak dengan kerabat mereka di rumah, termasuk bahwa mereka mungkin “tersangka kriminal dalam tahanan polisi.”

“Jika Anda tidak dapat menghubungi kerabat Anda di Xinjiang, Anda harus menghubungi kedutaan atau konsulat China terdekat. Kami akan bekerja dengan mereka untuk memberikan bantuan,” katanya.

Tetapi wawancara dengan kedua kelompok anak-anak tersebut menggambarkan keamanan yang ketat dan tekanan luar biasa setiap hari.

Laporan terbaru yang dirilis, Amnesty International memperkirakan mungkin ada ribuan keluarga Uighur seperti keluarga Mamutjan di seluruh dunia, orang tua dan anak-anak yang telah dipisahkan selama bertahun-tahun akibat cengkeraman pemerintah China yang semakin ketat di Xinjiang.

Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping minoritas Muslim di Xinjiang diduga telah menjadi sasaran program penahanan massal yang direkayasa pemerintah, indoktrinasi paksa, dan bahkan sterilisasi.

Menurut laporan Amnesty International, beberapa orang tua yang melarikan diri dari wilayah tersebut pada hari-hari awal penindasan tidak dapat bersatu kembali dengan anak-anak mereka. Yang lainnya, seperti Mamutjan, secara tidak sengaja mendapati diri mereka berada di seberang negara itu, dan sekarang takut kembali ke Xinjiang.

Alkan Akad, seorang peneliti China di Amnesty International, mengatakan pemisahan orang tua dan anak tidak semuanya kebetulan. Dalam beberapa kasus, ini bisa menjadi taktik yang disengaja oleh pihak berwenang.

“Pemerintah China ingin mendapatkan pengaruh atas populasi Uyghur yang tinggal di luar negeri, sehingga mereka dapat menghentikan mereka dari terlibat dalam aktivisme dan berbicara untuk keluarga dan kerabat mereka di Xinjiang,” kata Akad, yang menulis laporan baru itu.

Berbicara pada jumpa pers pada 15 Maret, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang “tidak berdasar dan sensasional.”

“Masalah yang berhubungan dengan Xinjiang sama sekali bukan masalah hak asasi manusia. Mereka pada dasarnya tentang melawan terorisme kekerasan, radikalisme dan separatisme,” katanya.

Tinggalkan Balasan