Jakarta –
Komitmen Presiden Joko Widodo untuk membangun infrastruktur di Papua secara massif, menurut sosiolog Retor AW Kaligis, merupakan bagian dari upaya pemerintah mengurangi ketimpangan dengan daerah lain di Indonesia. Namun dia mengingatkan bahwa pembangunan fisik itu sejatinya baru separuh jalan dalam membangun Papua.
“Tujuan utamanya kan memperbaiki kesejahteraan masyarakat di sana,” kata Retor yang sehari-hari mengajar di STISIP Widuri saat berbincang dengan detikcom, Senin (16/10/2017).
Pada gilirannya, dengan semakin membaiknya kesejahteraan masyarakat Papua tentu diharapkan perasaan dikucilkan sebagai sesama anak bangsa akan pupus. Konflik dan separatisme pun tidak akan lagi menjadi isu pokok sehingga masyarakat bakal memalingkan muka dari gerakan itu.
Sementara dalam Jurnal Insani edisi 1 Desember 2011, Retor pernah menulis paper bertajuk ‘Dimensi Masalah Sosial, Sosiologis, dan Sosietal di Papua’. Di situ dia mengungkapkan bahwa pemerintah Orde Baru memiliki kecenderungan pendekatan keamanan ketika membangun Papua. Hasilnya sejarah kelam meliputi pembangunan Papua. Proses kekerasan struktural terjadi sebelum 1969.
Indonesia yang tengah mengalami krisis ekonomi membawa barang dari Papua sehingga memunculkan stigma bahwa orang Indonesia melakukan perampokan.
Selain itu harga di Papua melambung tinggi karena masalah distribusi hingga nilai tukar IB (rupiah Irian Barat) nilainya sepuluh kali lipat dari rupiah biasa. Banyak masyarakat tidak mampu membeli barang.
“Krisis ini membawa permasalahan sosial, terjadi kerusuhan di berbagai tempat seperti manokwari, Biak, Yapen Waropen, dan Sukarnapura (sekarang Jayapura),” tulis Retor.
Pasca reformasi 1998, pendekatan keamanan diubah menjadi pendekatan kesejahteraan. Pembangunan Papua selalu berdengung dalam kebijakan pemerintah. “Namun pelaksanaannya berjalan lamban. Baru pada pemerintahan Jokowi kali ini pembangunan infrastruktur dikebut,” ujar penulis buku Marhaen dan Wong Cilik itu.