Jakarta, Kabarberita.id – Tepat pukul 24.00 WIB, Senin (16/10) lalu, KPU menutup pendaftran partai politik peserta pemilu legislatif untuk Pemilu 2019. Dari 73 partai politik berbadan hukum yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, hanya 27 yang mendaftarkan diri.
Artinya, hanya sepertiga partai politik yang merasa mampu memenuhi syarat menjadi partai politik peserta pemilu legislatif, sedangkan dua pertiga lainnya menyerah.
Dari 27 itu, terdapat 10 partai politik yang memiliki kursi di DPR: PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PKB, PKS, PPP, Partai Nasdem, dan Partai Hanura; serta 2 partai politik peserta Pemilu 2014: PBB dan PKPI. Jadi, pada tahapan pendaftaran partai politik ini terdapat 12 partai politik lama dan 15 partai politik baru.
Dua jenis partai politik itu punya pengalaman dan kemampuan berbeda, sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU No 7/2017) membuat perlakuan berbeda.
Pasal 173 ayat (2) UU No 7/2017 menyebut syarat kepengurusan dan keanggotaan yang harus dipenuhi partai politik baru: memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan; serta memiliki anggota minimal 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota.
Partai politik lama tidak dikenakan syarat tersebut, karena dinilai sudah memenuhi pada pemilu sebelumnya, sebagaimana diatur Pasal 173 ayat (3) UU No 7/2017: Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu.
Oleh partai politik baru, ketentuan Pasal 173 ayat (3) UU No 7/2017 dianggap tidak adil. Sebab, kemampuan partai politik dalam menggalang kepengurusan dan keanggotaan untuk Pemilu 2014 dengan Pemiu 2019, tidak sama.
Kini, mereka mengajukan gugatan ke MK. Mereka minta partai politik lama diperlakukan sama dengan partai politik baru: memenuhi syarat kepengurusan dan keanggotaan.
KPU pun tak sepenuhnya menjalankan Pasal 173 Ayat (3) UU No 7/2017. Ini terlihat dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD (PKPU No 11/2017).
Menurutn PKPU itu, partai politik lama tetap harus menyertakan syarat kepengurusan dan keanggotaan ketika mendaftar ke KPU. Hanya saja KPU tidak akan memverifikasi berkas kepengurusan dan keanggotaan, kecuali di provinsi dan kabupaten/kota baru. Maksudnya provinsi dan kabupaten/kota yang pada Pemilu 2014 belum ada, seperti Kalimantan Utara.
Kalimantan Utara waktu itu belum ada, maka tidak ada kepengurusan yang harus diverifikasi. Kini Kalimantan Utara eksis, lalu partai politik harus memenuhi ketentuan kepengurusan di 100 persen provinsi, maka pemenuhan syarat itu harus diverifikasi.
Jika gugatan partai politik baru dikabulkan MK, maka pengurus partai politik lama di semua tingkatan akan sibuk melayani verifikasi administrasi maupun faktual yang dilakukan oleh KPU. Beban pekerjaan KPU dan jajarannya pun bertambah hampir dua kali liat.
Dengan dalih kemampuan partai politik dalam memenuhi persyaratan kepengurusan dan keanggotaan antara tahun ini dengan lima tahun lalu berbeda, bisa saja MK mengabulkan permintaan partai politik batu itu.
Ingat saja, pada Pemilu 2014, MK mengabulkan gugatan beberapa partai politik terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No 8/2012), yang menyebabkan partai politik lama harus memenuhi syarat peserta pemilu sama dengan partai politik baru.
Pasal 8 Ayat (1) UU No 8/2012 menyatakan bahwa partai politik (lama) yang memenuhi ambang batas perolehan suara nasional 3,5 persen (yang berarti partai politik yang memiliki kursi di DPR) langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu.
Sedangkan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR, menurut Pasal 8 Ayat (2) UU No 8/2012, wajib memenuhi syarat: memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan; serta memiliki anggota minimal 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota.
MK menilai, ketentuan Pasal 8 Ayat (1) UU No 8/2012 itu tidak adil, mengingat untuk menjadi partai politik peserta pemilu pada Pemilu 2009, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No 10/2008) membuat syarat lebih ringan: memiliki kepengurusan di 2/3 provinsi dan 2/3 kabupaten/kota; serta memiliki anggota minimal 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota.
Jadi, jika asas keadilan yang jadi patokan, maka sangat mungkin gugatan partai politik baru kali ini, akan dikabulkan kembali. Apabila itu terjadi, maka partai politik lama mau tidak mau harus memenuhi syarat sebagaimana partai politik baru.
Hal ini sesungguhnya lucu dan unik. Lucu, karena partai politik yang memiliki kursi di DPR (yang berarti memiliki kemampuan meraih suara dalam pemilu), tetap saja dianggap belum layak ikut pemilu. Unik, karena hanya terjadi di Indonesia, di negara lain tidak ada.
Hal itu terjadi akibat obsesi pembuat undang-undang (yang tidak lain adalah partai politik lama yang menguasai legislatif dan eksekutif), yang berkeras membatasi hadirnya pesaing baru dalam pemilu.
Mereka membuat syarat sangat berat dalam kepengurusan dan keanggotaan. Padahal memiliki kepengurusan dan keanggotaan tidak identik dengan kemampuan meraih suara dalam pemilu.(Sumber: Kompas.com)