Pakar Ragukan Kesiapan Penyelenggara Pilkada Serentak 2024

Jakarta, KabarBerita.id — Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama mempertanyakan kesiapan penyelenggara Pemilu jika pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar serentak dengan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) pada 2024 mendatang.
“Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana penyelenggara pemilu kita siap melaksanakan desain elektoral dengan pemilu serentak,” kata Heroik dalam sebuah diskusi virtual, Minggu (31/1).

Pelaksanaan Pilkada serentak menjadi polemik seiring beredarnya draf revisi Undang-undang Pemilu. Dalam draf yang beredar, gelaran Pilkada dinormalisasi menjadi 2022 atau 2023.

Sementara, sejumlah fraksi di DPR–termasuk satu di antaranya PDIP–menolak Pilkada serentak dinormalisasi dan tetap dilaksanakan pada 2024.

Menurut Heroik, jika Pilkada dilakukan serentak dengan Pilpres dan Pileg maka konsekuensinya akan ada tujuh surat suara dalam satu hari pemilu. Kata dia, kondisi tersebut berpotensi mengakibatkan tata kelola penyelenggaraan Pemilu bakal kian kompleks.

Heroik menjelaskan, kompleksitas itu bukan hanya dirasakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat nasional hingga daerah, melainkan juga bagi mereka yang menjadi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

Belajar dari pengalaman, pada Pemilu 2019, saat hanya ada lima surat suara saja menurutnya para penyelenggara pemilu sudah merasakan beban kerja yang cukup berat.

“Pemilu 2019 kemarin, dengan lima surat suara, para penyelenggara pemilu merasakan beban kerja yang cukup tinggi. Saya tidak bisa bayangkan kemudian jika harus diselenggarakan serentak menyeluruh dengan tujuh surat suara,” ungkap Heroik.

Mantan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo juga tidak setuju apabila Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Menurutnya, hal itu akan berdampak buruk bagi indikator Pemilu.

“Menurut saya meniadakan Pilkada di 2022 dan 2023 itu sebetulnya tidak baik. Karena pemilu yang teratur, yang sesuai jadwal itu adalah salah satu yang menjadi indikator Pemilu yang bagus, integritas Pemilu yang baik, dilaksanakan tepat waktu,” terang Bambang.

Bambang pun menuturkan, Pilkada digelar serentak pada 2024 dengan tujuan mengelola agenda politik agar lebih padat tidak bisa dijadikan alasan.

“Supaya telah 2024 terjadi keserentakan itu, sebetulnya kita harus cukup bersabar mengelola perubahan sehingga kemudian tidak terjadi tolak menolak kepentingan yang saya kira mempengaruhi proses ini di DPR nanti,” ungkap dia lagi.

Adapun Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sri Nuryanti menilai, pelaksanaan Pemilu 2024 perlu dikaji dengan lebih cermat dan komprehensif. Khusus di Jakarta, menurut Nuryanti, polemik pelaksanaan Pilkada pun harus diputuskan segera.

“Terkait pemilu 2022 atau 2024, ini pertanyaan yang masih menjadi masalah hangat. Rekan-rekan DKI juga memerlukan jawaban segera, kalau kalau ada pemilu di 2022, maka rekan-rekan DKI akan mengajukan anggaran di 2021,” kata Nuryanti.

Dalam RUU Pemilu, DPR menggunakan dua istilah baru yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Draf ini telah masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas DPR 2021.

Rancangan beleid tersebut mengatur, rencana Pilkada serentak selanjutnya dihelat pada 2022 dan 2023. Pasal 731 Ayat (2) draf revisi UU Pemilu memuat ketentuan Pilkada 2022 akan diikuti 101 daerah yang menggelar Pilkada pada 2017. Lantas pada Pasal 731 Ayat (3) menyebutkan, Pilkada 2023 bakal diikuti daerah yang menggelar Pilkada pada 2018.

Aturan itu tidak seperti ketentuan pada UU Pilkada yang kini berlaku, bahwa Pilkada serentak di seluruh provinsi, kabupaten dan, kota akan digelar pada 2024 bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD dan presiden.

Tinggalkan Balasan