Nasib 2024 Anies Terseret Polemik RUU Pemilu

Jakarta, KabarBerita.id — Draf Revisi Undang-undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) memunculkan perdebatan mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berikutnya.
Dalam Draf RUU Pemilu, pilkada akan digelar 2022 dan 2023. Namun di UU Pemilu dan Pilkada yang masih berlaku saat ini, pilkada baru akan digelar pada 2024 mendatang bersama pilpres dan pileg.

Nasib Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lantas menjadi sorotan. Anies akan habis masa jabatannya pada 2022 karena sudah menjabat sejak 2017.

Pengamat politik dari Universitas Brawijaya, Anang Sujoko mengatakan bahwa kans Anies maju di Pilpres 2024 menjadi kecil jika pilkada tidak digelar pada 2022. Popularitas dan elektabilitasnya akan menurun.

Itu bisa terjadi karena Anies akan habis masa jabatannya di 2022 dan Gubernur DKI Jakarta bakal diisi oleh penjabat gubernur yang ditunjuk Kemendagri. Anies jadi tidak punya panggung untuk memelihara elektabilitasnya hingga 2024.

Berbeda halnya jika ada Pilkada di 2022. Anies berpotensi menang di Pilkada DKI Jakarta dan tetap memiliki panggung hingga 2024. Dengan demikian, popularitas dan elektabilitasnya bisa terpelihara.

“Karena kalau Anies masih menjabat itu kemungkinan untuk popularitasnya lebih tinggi,” kata Anang melalui sambungan telepon, Jumat (29/1).

Menurut Anang, penolakan Revisi UU Pemilu yang membuat pilkada tetap dilaksanakan pada 2024 merupakan langkah jitu untuk menangkal Anies di pilpres.

Sejauh ini, partai yang ingin UU Pemilu direvisi dan ada Pilkada di 2022 dan 2023 adalah Golkar dan NasDem. Pihak pemerintah sendiri menolak RUU Pemilu dan tetap ingin Pilkada Serentak baru digelar 2024 mendatang.

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana menilai seharusnya seorang sosok tidak terpaku pada pemilu atau jabatan di pemerintahan untuk mendongkrak elektabilitas.

Jauh lebih baik jika mempersiapkan semuanya sendiri. Mengenai sosok seperti Anies atau kepala daerah lain yang akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023, masih bisa melakukan hal lain untuk meningkatkan elektabilitas jika ingin maju di pilpres.

“Persiapan bisa setahun, dua tahun masa jabatan berakhir. Dan menurut saya itu kesempatan besar untuk keliling Indonesia. Kalau gubernur DKI atau Jawa Timur sering keliling Indonesia, bukannya kerja. Kan orang juga bertanya-tanya,” ucapnya.

Aditya sendiri tidak setuju jika UU Pemilu direvisi hanya untuk menjegal atau mendukung pihak tertentu. Menurutnya UU Pemilu dibuat agar berlaku dalam jangka waktu yang panjang

Jika pembahasan revisi UU Pemilu sekarang hanya mementingkan perkara elektabilitas tokoh tertentu, ia khawatir UU itu akan dirombak lagi dalam waktu dekat.

Dalam draf revisi UU Pemilu yang diusulkan DPR, ada sejumlah perubahan dibandingkan UU Pemilu dan Pilkada yang masih berlaku saat ini. Aturan tentang pemilu dan pilkada pun dijadikan dalam satu, yakni dalam Draf RUU Pemilu tersebut.

DPR menggunakan istilah baru, yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

Pemilu Nasional adalah pemilihan calon presiden-wakil presiden, anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota dan DPD. Digelar 2024 dan setia lima tahun berikutnya.

Kemudian Pemilu Daerah adalah pemilihan kepala daerah serentak di seluruh Indonesia. Dalam Draf Revisi UU Pemilu, Pemilu Daerah digelar pada 2027 mendatang.

Bakal ada pilkada 2022 dan 2023 terlebih dahulu sebelum Pemilu Daerah digelar pada 2027.

Sejumlah ketentuan itu berbeda dengan UU Pemilu dan UU Pilkada yang berlaku saat ini, yakni Pemilu digelar pada 2024. Pemilihan kepala daerah seluruh Indonesia digelar bersamaan dengan pemilihan calon presiden-wakil presiden, anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota dan DPD.

Tinggalkan Balasan