Kota Sawahlunto adalah kota yang terletak di 95 kilometer timur laut Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Kota ini diapit tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok, dan Kabupaten Sijunjung.
Kota Sawahlunto memiliki luas 273,45 km persegi yang terdiri atas empat kecamatan dengan jumlah penduduk lebih dari 54.000 jiwa.
Untuk mencapai kota ini, bisa menggunakan mobil sewa dengan merogoh kocek Rp500.000 atau menggunakan bus dengan biaya Rp35.000 dengan waktu tempuh dari Kota Padang sekitar 2,5 jam hingga tiga jam.
Sawahlunto dahulu hanya merupakan lembah subur yang dijadikan sawah oleh warga setempat yang berbudaya Minang. Lembah itu dibelah aliran Sungai Lunto.
Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata “sawah” dan Sungai “Lunto”. Lembah Sungai Lunto yang subur itu kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batu bara pada zaman kolonial Belanda.
Adalah Willem Hendrik de Greve, ahli geologi yang ditugasi pemerintah Hindia Belanda untuk menyelidiki keberadaan batu bara di Sawahlunto.
Putra dari “negeri raja”, Franeker Belanda, itu adalah kontributor utama yang menguak “emas hitam” alias kekayaan sumber daya energi yang tersimpan di perut bumi Sawahlunto.
Penugasan Willem Hendrik de Greve itu berdasarkan surat keputusan gubernur jenderal Hindia Belanda tertanggal 26 Mei 1867 untuk menyelidiki batu bara di Ombilin. Jika tanggal itu yang disepakati maka gubernur jenderal pemerintahan kolonial Belanda saat itu adalah Pieter Mijer.
Pada tahun 1868, De Greve menemukan kandungan batu bara di Sungai Ombilin. Namun apa lacur, dia akhirnya meninggal dunia karena terseret air saat menyusuri alternatif air untuk mengangkut batu bara hasil temuannya pada 22 Oktober 1872 pada usia 30 tahun. Dia mati muda.
Setelah diketahui kandungan sumber daya alam dan potensi ekonominya, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi.
Pada akhirnya dimulai pula pembangunan infrastruktur tambang dan pendukungnya di Sawahlunto. Pembangunan infrastruktur tersebut pada 1883 hingga 1894.
Aktivitas pertambangan di Sawahlunto sendiri sejak 1892 dengan produksi batu bara sebanyak sebanyak 48.000 ton.
“Tambang batu bara Ombilin itu ditutup kolonialis Belanda pada 1923 karena ada rembesan air dari Sungai Batang Lunto dan tingginya gas metan saat itu,” kata Nurna, pemandu Museum Sawahlunto.
Manusia Rantai
Untuk mendukung aktivitas pertambangan di Sawahlunto, pemerintah Hindia Belanda menggunakan para narapidana sebagai tenaga kerja yang diambil dari penjara-penjara yang ada di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Medan (Sumatera Utara).
Para narapidana ini diangkut dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Perak, dan diturunkan di Pelabuhan Emmahaven–sekarang bernama Pelabuhan Teluk Bayur, yang dibangun kolonial Belanda antara 1888 dan 1893.
Mereka kemudian diangkut dengan kereta api ke Sawahlunto atau pusat aktivitas pertambangan Sawahlunto.
Nurna, pemandu Museum Sawahlunto mengatakan, para narapidana yang dipekerjakan di pertambangan Sawahlunto ini umumnya adalah narapidana yang dinilai pemerintah Kolonial Belanda sebagai pembangkang.
Sebagian di antara mereka adalah tawanan politik Belanda, ada pula yang berasal dari kriminal, para penjahat kelas kakap atau yang dianggap sebagai penjahat.
“Kalau tawanan Belanda itu adalah orang-orang yang melawan Belanda. Mereka ingin mempertahankan tanah nenek moyang mereka yang dirampas Belanda. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau menjadi kacung Belanda,” katanya.
Belanda mengganggap mereka adalah teroris, merusak wibawa dan kekuasaan Belanda–suatu ketakutan yang luar biasa yang hinggap di kalangan tuan-tuan berkulit putih kala itu.
“Saya tidak tahu persis, jumlah tahanan yang dipekerjakan di pertambangan Sawahlunto, tetapi mendekati 2.000 orang. Mereka tidak berasal dari tahanan yang jahat, tetapi umumnya adalah pembangkang pemerintah Hindia Belanda,” katanya.
Di Sawahlunto inilah para narapidana itu dikerahkan habis-habisan tenaganya untuk membuat terowongan tambang. Pekerja paksa ini dikenal juga dengan sebutan orang rantai karena dalam kegiatan penambangannya kaki mereka tetap dirantai.
“Saat mereka bekerja, hanya kaki yang dirantai. Akan tetapi, setelah bekerja dan kembali ke tahanan, kaki dan tangan semuanya dirantai,” kata Sudarsono, pemandu lubang tambang Mbah Soero.
“Para pekerja ini menempati ruang bawah tanah yang dibangun Belanda. Pada dinding ruangan ini, baik di dalam maupun luar, dipasang pecahan kaca sehingga para penghuni tidak bisa sandar,” kata dia.
Siksaan berupa cambukan sering kali mereka terima dari mandor, makanan yang diberikan pun terbatas. Oleh karena itu, lanjut dia, banyak orang rantai yang meninggal selama berlangsungnya kerja paksa itu.
“Waktu itu, banyak pekerja yang meninggal di dalam lubang tambang. Ketika kami membuka bekas tambang ini pada 2007, kami menemukan banyak sekali tulang belulang manusia,” ungkapnya.
Hilangkan Identitas
Nurna menambahkan bahwa semua narapidana yang didatangkan dari Pulau Jawa setelah berada di pertambangan Sawahlunto, tidak lagi menggunakan nama asli mereka.
Semua narapidana diberi tanda cap berupa angka seperti 2532 atau angka 7 di bagian tangan sebagai nama panggilan sehari-hari.
“Jadi, mandor tidak memanggil nama asli, tetapi menyebut nomor atau angka yang tertera di tangan para napi sehingga di antara mereka sendiri tidak saling mengenal,” katanya.
Di samping itu, keluarga atau kerabat sulit mencari para pekerja paksa di pertambangan batu bara di Sawahlunto ini karena tidak ada identitas.
Itulah yang menyebabkan banyak keluarga korban yang datang untuk mencari makam leluhur mereka di tanah Sawahlunto tidak bisa menemukannya karena di tempat-tempat pemakaman narapidana yang mati hanya tertulis angka.
Kini, Kota Sawahlunto yang dahulunya hanya kampung kecil berpenduduk 500 orang yang dikelilingi hutan belantara, bukit-bukit yang saling menyambung dengan dataran rendah yang sempit menjadi sebuah destinasi wisata baru sejak 2008.
Kini, dia menjadi tujuan bagi semua wisatawan dari berbagai mancanegara, terutama generasi muda bangsa ini yang tidak mengetahui drama perbudakan di negeri sendiri.