Editorial KabarBerita
Sabtu, 2 Juni 2018
Polemik besaran pendapatan Ketua Dewan Pengarah dan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melebar kesana kemari.
Polemik ini datang sendiri dari istana yang mempublikasikan besaran gaji dan tunjangan lainnya yang diperoleh Dewan Pengarah BPIP.
Dari satu sisi, kita apresiasi semangat transparansi istana yang mempublikasikan besaran pendapatan dewan pengarah BPIP. Tetapi memang respons publik adalah sebuah respons publik yang jujur. Angka pendapatan seorang dewan pembina sangat tinggi di tengah upaya pemerintah menarik sebanyak-banyaknya anggaran dari publik untuk menambah kas negara.
Sensitivitas itulah yang seharusnya dimiliki oleh istana. Rakyat dipaksa untuk melunasi pajak-pajak yang harus disetor ke negara. Barang-barang subsidi dikurangi. Rakyat amat kesulitan kini mengakses premium dan dipaksa membeli pertalite yang mengikuti harga pasar, harga liberal. Rupiah terpuruk, utang negara terus digenjot.
Dalam situasi yang tidak terlalu baik itu, kebijakan memberikan gaji dan tunjangan yang sangat besar kepada sosok-sosok negarawan itu dipertanyakan.
Kita percaya orang-orang yang duduk di Dewan Pengarah BPIP adalah sosok negarawan yang tidak mengharapkan balas jasa terhadap kerja mereka untuk negara.
Orang-orang besar seperti mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri, mantan wakil presiden Try Sutrisno, Buya Ahmad Syafii Ma’arif, KH Said Agil Siradj, KH Ma’ruf Amin, Prof Mahfud MD dan yang lainnya dikenal sebagai sosok negarawan. Levelnya jauh di atas politisi, sebab negarawan mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak, seorang penyelesai masalah dan penyejuk saat terjadi polemik.
Tetapi yang kita lihat akhir-akhir ini tak nampak seperti seharusnya. Prof Mahfud MD mungkin satu-satunya anggota Dewan Pengarah BPIP yang aktif bersuara terkait gaji dan tunjangan. Maklum, Guru Besar UII ini sekarang aktif di Twitter, media sosial yang banyak dijejali para buzzer.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Prof Mahfud MD, rasanya dunia noise para buzzer di Twitter mulai mempengaruhi sikap Prof Mahfud. Komentarnya menjadi amat emosional dan keluar konteks. Bukan lagi konten subtansi yang diketengahkan tetapi peluru untuk menyerang.
Banyak mendapat risakan di Twitter, Prof Mahfud menyerang membabi buta partai-partai yang berada di luar pemerintahan. Padahal secara institusi, tidak ada partai-partai tersebut yang menyerang Prof Mahfud di media sosial. Berbekal dengan penisbatan, si A kader partai A, Prof Mahfud dengan mudah menyerang institusi partai tersebut beserta tokoh-tokohnya yang tidak secara langsung berdialektika soal gaji dan besaran tunjangan BPIP ini
Sikap dan komentar Prof Mahfud tentu kita sesalkan. Sebagai orang yang seharusnya paling paham soal ideologi Pancasila, Dewan Pengarah BPIP seharusnya tidak menambah polemik baru, menambah kegaduhan baru, menambah instabilitas baru.
Beruntung, masalah Prof Mahfud dengan PKS dalam hal ini sudah diselesaikan dengan silaturahim. Memang begitulah seharusnya seorang negarawan. Dia menjalin silaturahmi dengan semua pihak, baik teman istana maupun lawan politik istana.
Kita berharap ke depan, para negarawan di BPIP ini tidak lagi menimbulkan arus kegaduhan baru. Jika orang-orang yang paling paham soal Pancasila saja bisa berbuat gaduh lalu bagaimana dengan rakyat-rakyat kecil model seperti kita ini?
Tim Redaksi
KabarBerita