Membandingkan Sandi Effect dan Ma’ruf Effect

Djadjang Nurjaman
Pengamat Media dan Ruang Publik
KPU baru saja mengumumkan, cawapres Maruf Amin dan Sandiaga Uno tak harus hadir dalam debat kedua yang akan digelar 17 Februari 2019.

Debat akan membahas isu sumber daya alam, energi dan pangan, lingkungan hidup, serta infrastruktur. Yang tampil hanya capres Jokowi dengan Prabowo.

Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan kedua cawapres tidak akan diundang. “Cawapres dari kedua pasangan tidak datang boleh, mau datang juga boleh,” ujarnya.

Kubu Prabowo sudah memastikan Sandiaga Uno akan hadir memberi dukungan. Sementara Maruf Amin belum ada kepastian hadir atau tidak.

Di media sosial info ini kembali jadi perbincangan seru. Dihubung-hubungkan dengan independensi KPU. Jelang debat pertama pegiat dunia maya mempertanyakan kebijakan KPU yang terkesan sangat berpihak kepada paslon 01.

Yang paling banyak disoroti soal pengiriman kisi-kisi jawaban sepekan sebelum hari H, batalnya pemaparan visi misi,  sampai penolakan Rosiana Silalahi, dan Karni Ilyas sebagai moderator oleh paslon 01.

Apa sih pentingnya kehadiran para cawapres ini? Usai debat pertama, publik, media dalam dan luar negeri menyoroti penampilan kedua cawapres.

Di kubu paslon 01 sangat terlihat kehadiran Maruf Amin seperti ada dan tiada. Dia hanya diberi kesempatan menjawab sangat pendek oleh Jokowi. Porsinya kurang lebih 86 persen hingga 14 persen.

Kompas.com, mencatat Maruf hanya berbicara lima kali, dengan total waktu empat menit dan 16 detik. Sebagai perbandingan, Jokowi berbicara 21 kali dengan  waktu bicara 23 menit dan 46 detik.

Media asing aljazeera.com menyoroti tampilan Maruf Amin yang lebih banyak diam, selama hampir dua jam debat. Sementara The Jakarta Post mengutip jawaban pendek Ma’uf ketika akhirnya mendapat kesempatan bicara.

Jawaban itu jadi lelucon. ”I have nothing to add.” Tidak ada yang perlu saya tambahkan.

Peran yang paling menonjol dari Ma’ruf Amin hanya saat pengambilan undian. Dari 10 kali undian, Ma’ruf mengambil sebanyak 9 kali, Jokowi 1 kali.

Posisinya sangat berbeda dengan paslon 02. Sandiaga Uno diberi porsi cukup banyak menjawab pertanyaan. Kurang lebih 60 persen dan 40 persen. Pengambilan undian dilakukan sama banyak. Prabowo 5 kali, sandiaga 5 kali. Mereka terlihat berbagi peran dan saling mengisi.

Sepanjang masa kampanye, Maruf juga lebih banyak berada di rumah atau rumah sakit karena kakinya terkilir. Majalah Tempo membuat laporan utama dengan cover Jokowi memanggul Maruf. Dia menjadi beban Jokowi.

Secara elektabilitas Tempo menyebut sebagai cawapres satu setrip. Lembaga Survei Charta Politika menyatakan sumbangan suaranya hanya 0,2 persen.

Sangat kontras dengan Sandiaga yang aktif dan mobilitasnya sangat tinggi. Bulan ini saja, Sandi mengumumkan sudah menjelajah 1.000 titik di berbagai wilayah Indonesia.

Dalam setiap kali kunjungannya, dia bisa menemui pendukungnya sampai 10 titik. Jadwal hariannya dimulai sejak pagi hari, hingga larut malam.

Sandi juga berhasil menciptakan eforia, bahkan histeria. Dalam setiap kunjungannya dia disambut para pendukungnya, terutama emak-emak dan milenial.

Banyak wanita yang termehek-mehek, bahkan sampai menangis histeris hanya karena bisa bertemu Sandi.

Hendri Satrio pengamat politik dari Universitas Paramadina menilai, gerakan lincah Sandi membuat elektabilitas Prabowo terdongkrak. Maruf membuat elektabiltas Jokowi stagnan.

Apakah keputusan KPU tidak mengundang cawapres sebagai bagian strategi paslon 01 menyimpan Maruf Amin? Spekulasi itulah yang kini banyak berkembang.

Semakin banyak Maruf Amin tampil dan bicara, dikhawatirkan   menggerogoti elektabilitas Jokowi. Penampilannya di forum yang mendapat sorotan luas, harus dikurangi. Tapi mosok mau disimpan terus sepanjang masa kampanye?

Jokowi boleh mengklaim tidak punya “beban masa lalu.” Tapi dia punya beban masa depan, yakni Maruf Amin. [***]

Tinggalkan Balasan