Jakarta, KabarBerita.id — Saat ini, sudah sebulan perang antara Hamas dan Israel berlangsung sejak Sabtu (7/10) dan tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Israel terus memperkuat serangan bom terhadap Gaza, yang sayangnya telah menewaskan lebih dari 10.000 warga sipil. Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, mengungkapkan bahwa negaranya telah memperkuat persenjataannya sebagai respons terhadap permintaan banyak warga untuk membawa senjata pribadi.
Meskipun Israel telah melancarkan serbuan intensif ke Gaza, ini tidak menghentikan Hamas dari perang. Diperkirakan Hamas masih mengendalikan 240 orang sebagai sandera.
Konflik ini dimulai saat Hamas meluncurkan lebih dari 2.000 roket ke wilayah Israel pada awal Oktober lalu. Lebih dari seribu tentara Hamas, beberapa di antaranya menggunakan pesawat layang bermotor, menyeberang ke wilayah perbatasan antara Israel dan Gaza, seperti yang dikutip dari The Economist.
Dalam waktu 48 jam, Hamas berhasil membunuh lebih dari 900 warga sipil Israel dan menyandera 150 orang lainnya dengan menyerang desa-desa kecil.
Hamas sendiri didirikan pada 14 Desember 1987 oleh Sheikh Ahmed Yassin selama intifada pertama, ketika Palestina sedang berperang melawan Israel di wilayah Gaza dan Tepi Barat. Saat berdirinya, tujuan utama gerakan Hamas adalah untuk membebaskan Palestina dari pendudukan Israel.
Selama beberapa tahun terakhir, Hamas terus mengembangkan kemampuan militer dan persenjataannya. Mereka membangun terowongan yang menghubungkan wilayah Gaza dengan Israel, dengan tujuan menyulitkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dalam melacak keberadaan mereka.
Pada tahun 2021, Hamas mampu meluncurkan lebih dari 4.000 roket ke wilayah Israel dalam kurun waktu 11 hari. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa Hamas memiliki pasukan bersenjata antara 7.000 hingga 50.000 orang.
Hamas juga memiliki akademi militer, termasuk yang terkait dengan keamanan siber, yang beranggotakan lebih dari 40.000 orang. Mereka memiliki persenjataan canggih, termasuk roket rakitan, mortir, rudal anti-tank, rudal anti-pesawat, dan bahan peledak lainnya.
Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, mengakui bahwa mereka memproduksi roket lokal dan juga mengimpor roket jarak jauh dari Iran, Suriah, dan Mesir.
Hamas juga dituduh menggunakan jaringan pembiayaan global untuk mendapatkan dukungan dari badan amal atau negara-negara yang bersekutu. Beberapa laporan bahkan mengklaim bahwa Hamas telah menggunakan mata uang kripto untuk mengalirkan dana ke Gaza demi menghindari sanksi internasional.