Jakarta, KabarBerita.id — Presiden Recep Tayyip Erdogan menjadi perhatian setelah mengisyaratkan kemungkinan intervensi militer Turki di Israel untuk membantu Palestina. Erdogan menyatakan bahwa Turki harus menjadi negara yang kuat, sehingga bisa memberikan dukungan kepada Palestina, mirip dengan peran mereka di Libya dan keterlibatan dalam konflik Nagorno Karabakh di Azerbaijan.
Pernyataan Erdogan ini segera memicu reaksi keras, terutama dari Israel. Lalu, apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pemimpin Turki ini?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menyebutkan bahwa pernyataan Erdogan mencerminkan ketidakpuasan Turki terhadap situasi internasional saat ini.
“Pernyataan Erdogan merupakan upaya untuk menekan komunitas internasional agar segera mengambil langkah konkret, pasca resolusi PBB dan keputusan Mahkamah Internasional,” kata Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (29/7).
Pada bulan Juni, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengeluarkan resolusi untuk gencatan senjata di Gaza. Namun, gencatan senjata belum terlaksana, dan Israel terus melanjutkan serangan di wilayah Palestina tersebut.
Upaya mediasi gencatan senjata oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat belum membuahkan hasil, dengan pihak Israel dan Hamas sering kali tidak sepakat mengenai durasi gencatan senjata dan pertukaran tahanan.
Kurang dari satu bulan setelah resolusi itu, Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan bahwa pendudukan Israel di Palestina ilegal dan harus segera dihentikan. Namun, pemerintahan Benjamin Netanyahu mengabaikan putusan tersebut dan terus melanjutkan pendudukan serta serangan.
Yon juga melihat pernyataan Erdogan sebagai ekspresi kemarahan terhadap tindakan Israel yang semakin brutal di Gaza.
“Mungkin saja Turki marah melihat Israel yang tidak mengikuti hukum internasional dan lembaga PBB,” ujarnya.
Turki dan komunitas internasional lainnya, terutama PBB, menurut Yon, harus segera bertindak untuk memastikan implementasi resolusi dan putusan ICJ untuk mengakhiri agresi Israel di Gaza.
“Jika tidak ada tindakan segera, negara-negara lain seperti Iran atau mungkin Turki bisa mengambil tindakan sepihak dengan melakukan serangan,” tambahnya.
Jika Iran atau Turki benar-benar melancarkan serangan ke Israel, konflik dapat meluas dan memperburuk penyelesaian isu Palestina. Sekutu Israel seperti Amerika Serikat dan Inggris kemungkinan akan membela pemerintahan Netanyahu, memperumit negosiasi gencatan senjata.
Yon menekankan pentingnya mencegah perluasan konflik dan menyarankan komunitas internasional untuk fokus menyelesaikan masalah Palestina dan menegakkan resolusi gencatan senjata DK PBB.
**Turki Menunjukkan Kekuatan**
Pengamat hubungan internasional lainnya dari Universitas Indonesia, Sya’roni Rofii, memiliki pandangan berbeda terkait pernyataan Erdogan. Ia melihat komentar tersebut sebagai upaya menunjukkan kekuatan Turki.
“Pernyataan Erdogan dimaksudkan untuk menunjukkan kepada publik domestik bahwa Turki memiliki kemampuan untuk melakukan operasi militer di luar wilayahnya, seperti yang terjadi di Libya dan Azerbaijan,” ujar Sya’roni.
Pada tahun 2020, Turki mengirim personel militer ke Libya untuk mendukung pemerintah yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu Pemerintah Kesepakatan Nasional Libya (GNA). Mereka juga mendukung Azerbaijan dengan berbagai cara, termasuk pelatihan dan modernisasi militer.
Sya’roni juga menjelaskan bahwa pernyataan Erdogan mengisyaratkan bahwa Turki bisa saja mengirim pasukan ke zona konflik Israel-Palestina, tetapi hal ini akan menunggu persetujuan dari PBB, karena konflik di Gaza dan sekitarnya telah menjadi perhatian internasional.
Menurut Sya’roni, kecil kemungkinan Turki akan menyerang Israel karena saat ini mereka tidak memiliki alasan ancaman keamanan nasional yang mendesak. Selain itu, intervensi militer Turki di Libya dan Azerbaijan sebelumnya adalah atas permintaan negara-negara tersebut.
Para pengamat internasional menilai bahwa dukungan Turki kepada GNA di Libya bertujuan untuk menentang pengaruh regional pesaing seperti Uni Emirat Arab dan Mesir, yang mendukung Jenderal Haftar dan menentang kelompok-kelompok Islam radikal.