Jakarta, KabarBerita.id – Ada lima kategori penganut paham radikal dan pelaku teror yang dapat diidentifikasi untuk menemukan cara tepat dalam menanggulangi aksi radikal terorisme, kata Wapres Ma’ruf Amin dalam kuliah umum di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu.
Dengan mengidentifikasi jenis-jenis kelompok penganut paham radikal dan pelaku teror tersebut, maka upaya memutus proses transfer berfikir radikal dari pengirim pesan ke penerima pesan dapat dilakukan secara tepat sasaran.
“Upaya menangkal radikalisme harus dimulai dari menangkal cara berpikir radikal dan memutus proses transfer cara berpikir radikal tersebut dari satu orang kepada orang lain. BNPT telah menyiapkan framework-nya penanganan radikalisme dan terorisme yang dibagi dalam lima kelompok,” tutur Wapres.
Wapres menyebutkan ada lima jenis kelompok penganut paham radikal, yaitu indifference, latent, expressive, involvement group dan action group.
Kelompok indifference merupakan kelompok yang tidak memiliki paham radikal, namun terpapar melalui narasi-narasi radikal dari berbagai media. “Kelompok ini tidak bisa kita identifikasi,” ucap Wapres menjelaskan.
Kedua, kelompok latent adalah kelompok yang secara senyap sepakat dengan paham radikal, namun tidak mengekspresikannya dalam sebuah aksi.
“Sama dengan indifference, kelompok latent tidak bisa kita identifikasi sehingga penanganannya dilakukan dengan meningkatkan imunitas dan memperbanyak narasi positif agar tidak mudah menerima pikiran-pikiran radikal terorisme,” ujarnya.
Ketiga adalah kelompok ekspresif, yang menyepakati paham radikal dan mendukung tindakan teror dalam ruang publik, seperti di media sosial.
“Kelompok ini dapat dimonitor dan diidentifikasi sehingga seharusnya kita dapat melakukan pendekatan yang humanis kepada kelompok ini agar tidak semakin jauh dalam pikiran radikal,” katanya.
Keempat ialah involvement group atau kelompok yang terlibat dalam tindakan radikal terorisme. Kelompok tersebut dapat diidentifikasi dan penanganannya harus dilakukan melalui penegakan hukum dan deradikalisasi.
Kelompok terakhir adalah action group yakni yang telah terlibat dalam aksi terorisme. Penanganan terhadap kelompok tersebut dilakukan lewat penegakan hukum dan deradikalisasi bagi pelaku teror, sekaligus penanganan pascakrisis bagi korban.
“Tujuan saya menyampaikan framework ini adalah agar kita memahami tahapan perubahan seseorang yang tadinya tidak memiliki pikiran radikal, perlahan-lahan dicuci otaknya melalui proses radikalisasi sehingga dapat menjadi pelaku terorisme,” ujarnya.
Dengan memahami kerangka tersebut, Wapres berharap perguruan tinggi dapat membantu dalam melakukan penangkalan radikalisme dan terorisme.