Jakarta, KabarBerita.id — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta langkah konkret dari kepolisian merespons pernyataan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang meminta masyarakat aktif menyampaikan kritik dan masukan.
Sebelumnya, dalam kegiatan Ombudsman RI awal pekan ini, Jokowi meminta masyarakat tak segan dalam memberi masukan hingga kritik demi perbaikan pelayanan publik. Tapi, pernyataan Jokowi itu disambut miring publik, terutama di media sosial, di mana banyak netizen mencibir dengan fenomena pendengung (buzzer) hingga ancaman pasal pidana.
Cabut Surat Telegram Kapolri yang tentang pasal penghinaan presiden.
“Polri harus punya parameter yang jelas untuk melanjutkan pelaporan dari seseorang, aturan internasional yang bisa diikuti adalah Rabat Plan of Action,” kata Rivan, Rabu (10/2).
Rencana aksi yang dimaksudkan Rivanlee itu terkait dengan maraknya pelaporan-pelaporan ke polisi yang menggunakan pasal karet dalam KUHP hingga UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta lainnya.
Rabat Plan of Action, kata Rivan, memiliki parameter untuk menguji ambang ekspresi seseorang seperti konteks, pengujar, maksud, isi dan bentuk, batasan ujaran, kemungkinan dampak.
Dengan parameter yang jelas, polisi tidak bisa asal melanjutkan sebuah laporan tanpa tujuan dan maksud, apalagi hanya untuk kepentingan politis.
Lebih lanjut, Rivan menilai pernyataan Jokowi soal permintaan kritik ironis. Pernyataan tersebut menurut dia justru menunjukkan Jokowi tak mengamati situasi dan kondisi kebebasan sipil.
Menurut Rivan, Jokowi mestinya bertanggung jawab terhadap warga yang menjadi korban selama ini menjadi korban sipil. Baik karena UU ITE maupun oleh Surat Telegram Penghinaan Presiden.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak Kapolri mencabut surat telegram soal penghinaan presiden.
“Cabut Surat Telegram Kapolri yang tentang pasal penghinaan presiden,” desak Rivan.
“Jika presiden benar-benar meminta kritik keras, ia bisa memulainya dengan bertanggung jawab kepada orang-orang yang menjadi korban pembatasan kebebasan sipil,” imbuhnya.
Jokowi dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah. Kritik, katanya, perlu untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik.
Pernyataan tersebut belakangan menuai sorotan sebab, di sisi lain polisi kerap menangkap seseorang atas dugaan pelanggaran UU ITE.
“Ada semacam politik wajah ganda kekuasaan, dia munafik kekuasaan, kekuasaan berwajah munafik. Satu sisi menyatakan sesuatu yang positif. Tapi praktik yang terjadi bertolak belakang,” kata Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, Rabu (10/2).