Viral  

Kata Ekonom Soal APBN Jokowi Rp 2.220 T di 2018

Jakarta – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2018 sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), nilainya Rp 2.220.6 triliun.

Dalam instrumen fiskal itu, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4%, inflasi 3,5%, nilai tukar rupiah rata-rata Rp 13.400 per dolar AS, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan ditetapkan 5,2%, selanjutnya harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) US$ 48 per barel, lifting minyak 800 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi 1,2 juta barel setara minyak.

Untuk belanja dalam APBN 2018, ditetapkan Rp 2.220,6 triliun dengan pendapatan negara Rp Rp 1.894,7 triliun, sehingga masih ada defisit anggaran 2,19% setara PDB, atau Rp 325,9 triliun.

Lalu apakah APBN 2018 sudah ideal ?

Beberapa ekonomi di Indonesia menyebutkan, APBN tahun depan ini menjadi strategi fiskal yang diarahkan untuk program produktif, namun ada pula yang mengatakan belum ideal.

Ekonom dari PT Bank Permata TBk, Josua Pardede, mengatakan APBN 2018 merupakan strategi kebijakan fiskal yang diarahkan untuk lebih produktif, efisien, berdaya tahan, dan mampu mengendalikan risiko jangka pendek maupun jangka panjang.

Dia menyebutkan, dari target penerimaan negara Rp 1.894,7 triliun, sekitar Rp 1.618,1 triliun berasal dari perpajakan yang tumbuh sekitar 10% dibandingkan APBN 2017.

Kebijakan yang akan diambil pemerintah guna mengejar target penerimaan negara antara lain melalui pelaksanaan Automatic Exchange of Information (AEoI), pemanfaatan data dan implementasi sistem informasi perpajakan yang terintegrasi, membangun kesadaran pajak melalui e-service, mobile tax, kantor pelayanan pajak (KPP) mikro dan outbond call, pemberian insentif perpajakan untuk meningkatkan gairah investasi dan usaha.

Sementara di sisi belanja negara, Josua mengatakan, alokasi belanja pemerintah pusat naik 8,3% menjadi Rp 1.454,5 triliun, dibandingkan outlook APBN 2017.

“Di mana kebijakan fiskal diarahkan di antaranya untuk meningkatkan belanja produktif seperti pembangunan infrastruktur, pengurangan kemiskinan dan pengangguran, dalam rangka pemerataan pembangunan dan perbaikan konektivitas antarwilayah,” kata Josua, saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Kamis (26/10/2017).

Kebijakan fiskal yang diarahkan untuk lebih produktif juga tergambar dari alokasi belanja infrastruktur yang ditargetkan Rp 410,7 triliun. Dengan anggaran tersebut, pemerintah akan fokus dalam proyek prioritas infrastruktur untuk pembangunan jalan, pembangunan irigasi, peningkatan elektrifikasi dan pembangunan rusun, serta meningkatkan efektivitas program perlindungan sosial antara lain perluasan keluarga penerima program keluarga harapan, perbaikan mutu layanan kesehatan dan keberlanjutan program-program bantuan langsung ke masyarakat seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), beras untuk keluarga sejahtera (Rastra), dan Bantuan Pangan Non Tunai.

Meski demikian, dengan asumsi makro yang telah ditetapkan, pemerintah masih perlu kerja ekstra dalam merealisasikannya, sebab masih ekonomi global masih membayang-bayangi pergerakan ekonomi nasional.

“Namun pemerintah perlu kerja ekstra dalam mencapai target tersebut mengingat pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung melambat dalam 4-5 tahun terakhir seiring dengan ketergantungan perekonomian pada komoditas global,” jelas dia.

Sementara itu, Ekonom dari INDEF, Bhima Yudhistira, mengakui APBN 2018 yang telah disahkan oleh DPR belum ideal, lantaran sejumlah komponen yang ditetapkannya terbilang terlalu ambisius.

“Pertanyaannya kenaikan pajak 10% itu mau diambil dari mana sumbernya? Karena sudah tidak ada tax amnesty, kalau dari AEoI juga tidak bisa dalam waktu singkat, kalau targetnya tinggi yang saya khawatirkan pajak semakin agresif dan ini bisa menimbulkan kontraksi terhadap pertumbuhan ekonomi, akhirnya menjadi kontraproduktif, harusnya memang asumsi makro harus realistis,” kata Bhima.

Selanjutnya, dari sisi tingkat inflasi yang ditargetkan 3,5% ini juga akan terpengaruh oleh tren harga minyak dunia yang terus mengalami peningkatan. Bhima mengungkapkan, rata-rata harga minyak mentah dunia sudah berada di level 5,2%.

Peningkatan harga minyak mentah ini akan mempengaruhi alokasi anggaran pengelolaan subsidi, khususnya energi, yang ditetapkan menurun dari pagu RAPBN 2018.

“Karena tren minyak dunia sekarang ini sudah lebih dari US$ 52 per barel, sementara 2018 ekonomi China sudah mulai pulih, kemudian pertumbuhan ekonomi dunia ditargetkan 3,7% di 2018, artinya permintaan terhadap energi khususnya mintak mentah pasti akan meningkat, tren harga ini terus meningkat, kalau harganya naik terus sementara subsidi energinya tidak cukup kemungkinan besar subsidinya bisa bengkak di tengah tahun,” tambah dia.

Jika sudah bengkak subsidinya, kata Bhima, maka pemerintah akan mencari cara, yang salah satunya melakukan kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Bila ini dilakukan, maka akan berdampak pada tingkat inflasi.

“Harusnya kalau pemerintah mau jaga inflasi harusnya subsidi energinya dinaikkan, dengan kondisi harga minyaknya lebih dari US$ 52 per barel,” jelas dia.

Sementara untuk sisi belanja dan pendapatan, Bhima mengakui, masih ada penetapan yang kurang tepat. Pasalnya, dengan target pajak yang ditingkatkan 10% dan belum ada sumber penerimaan pajak yang baru, maka akan dikhawatirkan pada APBN-Perubahan terjadi penyesuaian yang ekstrem.

Bila APBN-P terjadi penyesuaian yang lebar, maka akan berdampak kepada banyak hal, seperti peringkat layak investasi Indonesia yang akan terkena evaluasi, pengusaha menjadi kurang yakin terhadap postur APBN, serta pengusaha khawatir target tidak tercapai atau meleset terlalu jauh.

Solusinya, kata Bhima, pertama terkait belanja infrastruktur yang tinggi bisa dirasionalisasi, atau diterapkan skema multiyears atau dicicil alokasinya, lalu merevisi target 245 proyek strategis nasional ke arah yang lebih realistis.

“Kalau saya masih kurang ideal di tahun politik,” pungkas dia. (wdl/wdl)

Tinggalkan Balasan