Jakarta, KabarBerita.id — Berbeda dengan orang dewasa, gaya hidup bukanlah faktor pemicu munculnya kanker pada anak, sehingga jauh lebih sulit dicegah, menurut ahli onkologi dari Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center (MRCCC) Siloam Hospitals Semanggi, Prof. Dr. dr. Moeslichan SpA (K).
“Kanker pada orang dewasa bisa dikaitkan dengan gaya hidup tidak sehat seperti merokok atau kurang berolahraga. Ini adalah faktor yang dapat dicegah. Namun, gaya hidup bukanlah faktor pemicu kanker pada anak, sehingga jauh lebih sulit dicegah,” kata dia dalam keterangan tertulis, Kamis.
Moeslichan menekankan pentingnya deteksi dini dan kepekaan orangtua mengenali kondisi tubuh anak mereka, misalnya ada tidaknya benjolan, bintik pada kulit anak dan lainnya.
“Penting bagi orangtua untuk tahu apa yang harus diperhatikan, dengan sering-sering memeriksa keadaan seluruh tubuh anak, misalnya apakah ada benjolan. Ini bisa dilakukan dengan meraba saat memandikan anak. Hati-hati apabila anak sering panas dan pucat, ada bintik-bintik pada kulit ataupun pendarahan pada kulit,” papar dia.
“Waspadai juga nyeri tulang, anak-anak belum bisa mengkomunikasikan sakit ini, sehingga dapat dipantau dari berkurangnya aktivitas fisik dari yang biasa mereka lakukan. Bila ada satu atau lebih dari gejala ini muncul, maka segera tes darah dan telusuri lebih detail dan lengkap dari hasil test darah tersebut,” sambung Moeslichan.
Data dari Kementerian Kesehatan menemukan bahwa prevalensi kanker pada anak-anak adalah 2 persen dari semua kejadian kanker, namun merupakan penyebab kematian kedua pada anak-anak berusia antara 5-14 tahun.
Sementara itu, Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKAI) menemukan bahwa prevalensi anak-anak dengan kanker meningkat 7 persen setiap tahunnya.
Dari ragam jenis kanker, leukemia adalah kanker yang paling umum pada anak-anak, diikuti oleh retinoblastoma, osteosarcoma, neuroblastoma, dan maligna limfoma.
“Orangtua yang anaknya menderita kanker harus mencari informasi akurat dan detail dari dokter yang mendampingi anak. Terbukalah dalam mengungkapkan kegalauan dan mendiskusikannya dengan dokter sehingga mendapat pengarahan dan pemahaman lebih mendalam. Kemudian, jalani pengobatan atau terapi yang disarankan dokter pendamping dengan tertib,” saran Moeslichan.