Jakarta, Kabarberita.id – Pengamat politik dari Universitas Indonesia Ani Soetjipto berpandangan bahwa perempuan lebih banyak menemui hambatan dalam kampanye pemilu dibandingkan dengan laki-laki.
Ani, di Jakarta, Rabu, mengungkapkan budaya patriarki yang masih kental di Indonesia menjadi salah satu alasan bagi para pemilih berpikir ulang untuk mempercayakan suara mereka pada seorang perempuan.
“Apalagi ketika politik sudah masuk ranah agama, yang menyatakan kalau pemimpin itu bagusnya laki-laki. Ini posisi perempuan akan sulit,” terang dia.
Ia juga menjelaskan keterbatasan akses, masalah modal, dan kurangnya dukungan dari internal partai politik turut menjadi rintangan yang harus dihadapi kaum hawa saat ingin maju menjadi wakil rakyat.
“Banyak juga partai yang masih menganggap kalau perempuan itu kurang bisa mendulang suara di pemilu. Buktinya saja saat pemilu legislatif caleg perempuan jarang sekali ditempatkan di nomor-nomor strategis seperti urutan pertama dan kedua,” tutur Ani.
Kendati demikian, ia memprediksi bahwa pada kampanye Pemilu 2019, bukan hanya peserta perempuan yang harus berjuang lebih untuk memenangkan “hati” para pemilih. Namun, hal itu juga berlaku bagi para peserta laki-laki.
Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, para peserta pemilu masih perlu mengamankan suara masyarakat dari pihak-pihak curang yang menggunakan cara-cara konvensional, layaknya politik uang dan “serangan fajar” dalam kampanye saat ini.
Namun, Ani mengatakan masalah tidak selesai hanya dengan melawan politik uang, karena ada tantangan lain yang harus dihadapi peserta pemilu saat ini, yakni SARA dan hoaks.
“Kenapa kampanye 2019 lebih sulit? Karena pada 2014, SARA efeknya belum seperti sekarang. Hoaks juga belum banyak, jadi relatif lebih mudah,” kata Ani.
“SARA dan hoaks ini bisa berbahaya. Karena nantinya, kalau sudah diyakini masyarakat, kampanye pemilu berdasarkan gagasan dan ide yang bagus malah bisa ditolak. Demokrasi kita jadi terancam,” terang dia.