Jokowi Minta Dikritik, Warga Dibayangi Buzzer dan UU ITE

Jakarta, KabarBerita.id — Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjadi sorotan terkait pernyataan terbarunya yang meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah.
Permintaan itu Jokowi sampaikan pada Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 pada Senin (8/2). Jokowi mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik.

Sorotan atas pernyataan Jokowi itu kemudian menjadi besar–terutama di media sosial–karena warganet dihadapkan kenyataan ada fenomena pendengung (buzzer) hingga Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bisa menjerat mereka yang lantang mengkritik, terutama lewat jagat maya.

Pada hari yang sama dengan Jokowi melontarkan pernyataan tersebut, lembaga survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil jajak pendapat atas tingkat kepuasan publik terhadap Sang Presiden. Responden yang menyatakan puas hanya sebanyak 62,59 persen.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyebut angka itu turun sekitar 5 persen dari 2019. Bahkan, ia menyebut tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi dalam titik terendah sejak 2016.

Di survei yang sama, Indikator juga mengungkap tingkat kepuasan publik terhadap kinerja demokrasi sebagai sistem pemerintahan sebesar 53 persen. Angka itu ditentukan kepuasan publik terhadap cara para aktor politik menjalankan demokrasi.

“Bisa saling terkait (antara tingkat kepuasan publik terhadap demokrasi dan Jokowi), tapi faktor lain kan kemungkinan banyak ya,” kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Adam Kamil lewat pesan singkat, Senin (8/2).

Buzzer dan Pidana UU ITE Mengintai
Saat Jokowi minta publik aktif mengkritik, warga dibayangi Undang-undang Nomor 11 Tahun Nomor 2008 (UU ITE). Aturan itu sering kali menjerat orang-orang yang kritis terhadap pemerintah.

Salah satunya kemudian diingatkan kembali oleh jurnalis Dandi Dwi Laksono lewat media sosialnya. Lewat kicauan di akun Twitter-nya, dia mengulas balik apa yang terjadi pada 2019 silam.

Adapun yang dimaksudkan dalam cuitan adalah penangkapan dirinya dengan jeratan pasal pidana dari UU ITE terkait cuitan tentang Papua di Twitter.

Sementara itu Ananda Badudu, yang semula lebih dikenal sebagai musisi dan juga jurnalis, ditangkap dengan tuduhan penggalangan dan penyaluran dana aksi mahasiswa 23-24 September 2019. Kala itu memang ramai demo penolakan ruu kontroversial jadi undang-undang jelang akhir DPR periode 2014-2019, termasuk RKUHP.

Jeratan UU ITE juga dialami aktivis Ravio Patra dengan tuduhan mengajak orang lain melakukan penjarahan nasional pada 30 April. Saat itu, buruh dan mahasiswa berencana demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja pada 30 April. Demonstrasi batal usai kejadian itu.

Selain mereka, masih banyak nama lain yang terjerat UU ITE saat menyampaikan kritik. Beberapa di antaranya adalah penggebuk drum Superman is Dead Jerinx, hingga pentolan Dewa 19 yang juga politikus Gerindra Ahmad Dhani.

Warga juga dihadapkan dengan para pendengung alias buzzer. Tak jarang orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah berakhir dirundung buzzer pada akun media sosial. Selain itu, ada pula ancaman doxing yakni kegiatan membongkar atau menyebarkan informasi pribadi orang lain yang dilakukan bukan oleh pihak berwenang atau tanpa izin dari individu terkait.

Salah satu kasus paling menyita perhatian terjadi pertengahan 2020. Saat itu, komika Bintang Emon mengomentari vonis rendah terhadap penyerang Novel Baswedan. Usai komentar itu viral, Bintang mulai dihujat akun anonim. Puncaknya, para buzzer memainkan isu bahwa Bintang pecandu narkoba. Bintang menjawabnya dengan menunjukkan hasil tes urine.

Begitu pula yang pernah dialami eks Menteri KKP Susi Pudjiastuti dan putri sulung Presiden keempat Ri Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Alissa pada akun twitter masing-masing terkait sikap pernyataan mereka baru-baru ini.

Kekhawatiran berpendapat juga sempat disampaikan ekonom yang juga kader PDIP Kwiek Kian Gie. Kwik bahkan membandingkan kondisi saat ini dengan Orde Baru. Pada rezim yang terkenal otoriter itu, Kwik mengaku masih bisa leluasa menyampaikan kritik via media massa. Namun saat ini, ia takut melakukan hal itu.

“Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil,” ucap Kwik di akun Twitter @kiangiekwik yang telah diizinkannya untuk dikutip.

Sementara itu, terkait kritik pedas dan keras, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengatakan pemerintah memang membutuhkan hal tersebut. Ia pun mengibaratkan kritik, termasuk dari media massa sebagai jamu.

“Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun dengan lebih terarah dan lebih benar,” kata Pramono dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional 2021, dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Kabinet, Selasa (9/2).

Terkait keberadaan buzzer, dalam acara diskusi yang digelar Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI-UI) pada September 2020 silam, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian mengakui kehadiran para pendengung partikelir yang kerap bergerilya di media sosial.

“Memang ada buzzer-buzzer swasta, partikelir, yang bekerja sendiri,” kata Donny kala itu.

Ia pun menyatakan ada pula buzzer yang bergerak cepat dan kerap menyerang beberapa pihak ini, kata dia, justru memiliki keterkaitan yang mengarah ke pihak swasta dan oposisi pemerintah. Dinamika pergerakannya pun, kata dia, cukup tinggi.

Namun dia memastikan hal itu tak berkaitan dengan pemerintah maupun Sang Presiden. Menurut Donny, justru Jokowi tak antikritik dengan pemberitaan yang kerap disampaikan media.

“Justru presiden menegur menteri-menteri dalam berkomunikasi supaya media untuk mendapatkan sumber yang kredibel, jadi tidak medianya yang disalahkan, tapi menterinya diminta untuk diperbaiki,” kata dia kala itu.

Tinggalkan Balasan