Jakarta, Kabarberita.id – Menghitung risiko saat bekerja di KPK adalah hal pertama yang dilakukan oleh Laode M Syarif setelah terpilih menjadi komisioner lembaga antirasuah tersebut.
Laode dan keluarga memang sejak awal tahu risiko bekerja di KPK sehingga keluarganya siap menghadapinya sejak dulu. Tapi ia mengaku tidak menyangka rumahnya akan dilempari bom molotov.
Meski begitu, Laode yakin Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi keluarganya karena satu bom Molotov yang dilempar ke rumahnya pada Rabu (9/1) pagi tidak meledak, jatuh terduduk tegak di sudut carport rumahnya.
Pada hari itu rumah Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jalan Kalibata Selatan, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, dilempari dua bom Molotov oleh orang tak dikenal, salah satunya merusak teras bagian atas rumah Laode.
Bom Molotov ditemukan di rumahnya pada Rabu (9/1) sekitar pukul 05.30 WIB. Rekaman CCTV menunjukkan sekitar pukul 01.00 WIB ada orang yang melakukan aktivitas mencurigakan di depan rumah Laode.
Rumah Ketua KPK Agus Rahardjo pada hari yang sama juga menjadi sasaran teror bom palsu. Di rumah Agus yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat, polisi menemukan pipa paralon, detonator, sekring, kabel warna kuning, paku ukuran 7 centimeter, serbuk putih, baterai dan tas.
Menurut Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap, setidaknya ada sembilan kali teror yang dialami oleh pegawai, pejabat dan pemimpin KPK sejak komisi berdiri pada 2003, yang pertama penyerbuan dan teror terhadap fasilitas keselamatan KPK yang dikenal dengan nama “Safe House”.
Selanjutnya ada ancaman bom ke gedung KPK, teror bom ke rumah penyidik KPK, penyiraman air keras ke rumah dan kendaraan penyidik KPK Afif Julian Miftah, ancaman pembunuhan terhadap pejabat dan pegawai KPK, dan perampasan perlengkapan penyidik KPK.
Kasus teror lainnya adalah penculikan terhadap pegawai KPK yang sedang bertugas, percobaan pembunuhan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, serta teror bom dan molotov terhadap Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Laode M Syarief di rumahnya.
Tapi hingga saat ini kepolisian belum berhasil mengungkap satu pun pelaku teror-teror tersebut.
Wadah Pegawai KPK berharap pelaku dan aktor intelektual teror terhadap pegawai dan pejabat KPK yang sampai kini masih menjadi misteri dapat segera terungkap dan kejadian teror tidak berulang lagi.
Mengaku Biasa Meski diserang sejumlah teror, menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, KPK tetap menjalankan tugas penindakan maupun pencegahan sebagaimana biasa.
“Lima pimpinan hari ini hadir di kantor dan melaksanakan tugas masing-masing. Ada juga yang melakukan tugas di luar misalnya menjadi narasumber di Kementerian Pendidikan, kemudian menerima pihak dari kedutaan negara lain diskusi tentang pemberantasan korupsi dan beberapa diskusi-diskusi terkait dengan penelitian dan pengembangan di Kementerian Kesehatan,” katanya setelah kasus pelemparan bom Molotov ke rumah pemimpin KPK.
Menurut Febri, kejadian tersebut tidak langsung mempengaruhi kinerja pemimpin maupun pegawai KPK.
Ia menjelaskan pula bahwa KPK punya mekanisme mitigasi risiko keamanan.
“Standar keamanan tentu ada, namun kalau ada peristiwa-peristiwa tertentu kita bahas melalui mekanisme mitigasi risiko keamanan, jadi risiko-risikonya dipetakan dan akan dilakukan jika dibutuhkan tindakan-tindakan tertentu,” katanya.
Laode mengatakan setelah rumahnya dilempari bom Molotov, ada penambahan fasilitas keamanan di rumah.
“Kami tetap beraktivitas seperti biasa, bedanya pengamanan lebih banyak, tapi tidak ada yang berubah,” kata Laode.
Bila ada yang berubah, menurut Laode, adalah adanya evaluasi terhadap standar prosedur operasi keamanan pegawai dan komisioner KPK.
Polri juga menambah pengamanan bagi komisioner KPK dan keluarganya serta memperbanyak patroli rutin.
Penyelesaian teror Wadah Pegawai (WP) KPK, yang merupakan organisasi serikat pekerja di KPK, menyatakan bahwa teror tersebut adalah bagian dari aksi teror jaringan-jaringan teror sebelumnya.
Ketika kali ini teror dilakukan di rumah pegawai dan pemimpin KPK, menurut Yudi Purnomo, koruptor dan orang-orang di baliknya sedang melakukan “psy war” dengan menyerang langsung ke pribadi-pribadi pegawai dan pemimpin KPK di rumah yang dianggap sebagai tempat keluarga.
WP KPK mengemukakan hipotesis awal bahwa pelaku teror-teror tersebut adalah pihak yang terkait satu sama lain dengan menunjukkan rekaman CCTV kejadian tahun 2015 yang menimpa penyidik KPK Afif Julian Miftah, yang rumahnya jadi target teror bom dan mobilnya disiram cairan kimia.
Dalam rekaman tersebut terlihat bagaimana bom diletakkan oleh dua orang yang mengendarai sepeda motor dan wajahnya jelas terlihat.
Meski wajahnya terlihat jelas tapi hampir empat tahun kasus itu belum terungkap juga.
Pelaku teror di rumah Komisioner KPK Laode M Syarif juga dua orang yang menaiki sepeda motor, tapi wajahnya ditutupi, seperti pelaku penyerangan terhadap Novel Baswedan pada April 2017.
Dalam kasus ini, pelaku teror menggunakan bom dan air keras, yang juga digunakan dalam kasus-kasus teror sebelumnya terhadap pegawai dan pejabat KPK.
“Bisa jadi mereka adalah orang yang sama dan jaringan yang sama tapi karena ini tidak terungkap maka mereka akan mengulang lagi perbuatan yang sama, dan kami yakin bukan yang terakhir, selanjutnya nanti pegawai KPK, penyidik KPK, jaksa, penyelidik KPK sedang melakukan tugas lalu diteror,” tambah Yudi.
Penasihat KPK Nanang Farid Syam mengatakan bila pelaku teror sudah berani mengancam Ketua KPK, artinya eksistensi negara dalam pemberantasan korupsi juga terancam.
Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century (2018) menyebut teroris sebagai “master of mind control”, perbuatan mereka membunuh sedikit orang tapi menciptakan ketakutan bagi jutaan orang dan bahkan mengguncang struktur politik. Terorisme sendiri adalah strategi militer yang bertujuan mengubah situasi politik dengan menyebarkan ketakutan dibanding menciptakan kerugian materiil.
Strategi ini hampir selalu diterapkan oleh pihak yang lemah karena mereka tidak dapat menciptakan kerugian materiil terhadap musuh mereka.
Memang setiap aksi militer menciptakan ketakutan, tapi dalam peran konvensional, ketakutan hanya timbul karena kerugian materiil dan biasanya timbul secara proporsional karena serangan yang diciptakan. Sementara dalam terorisme, ketakutan adalah cerita utama dan ada disproporsi yang sangat mencengangkan antara kekuatan teroris sebenarnya dengan penyebaran ketakutan yang mereka susun.
Tujuannya adalah agar ketakutan dan kebingungan tercipta sehingga pihak lawan kehilangan konsentrasi dan salah dalam bertindak. Kekeliruan muncul, kekerasan meningkat, publik bimbang, pihak yang tadinya netral jadi berpihak.
Harari menganalogikan teroris sebagai lalat yang mencoba menghancurkan satu toko kelontong.
Seekor lalat sangat lemah sehingga bahkan tidak dapat memindahkan satu kantong teh di toko itu, karenanya lalat mendatangi seekor kerbau dekat toko, masuk ke telinganya dan mulai mendengung.
Si kerbau menjadi liar karena takut dan marah hingga menghancurkan toko kelontong tersebut. Pelaku teror memang tidak berpikir seperti jenderal perang, tapi mereka berpikir seperti produser teater. Mereka menciptakan penonton teater yang diharapkan dapat memprovokasi musuh mengambil tindakan salah. Untuk menghadapi ketakutan ini, pemerintah pun mestinya lebih berpikir seperti produser teater ketimbang jenderal perang. Dan semua harus harus meyakini bahwa tidak ada hal yang dapat pelaku teror lakukan untuk mengalahkan kita, kita sendirilah yang dapat mengalahkan diri kita sendiri bila kita salah bertindak terhadap provokasi pelaku teror.
Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah dalam hal ini Polri sebagai penegak hukum yang berwenang mengusut pelaku teror dapat bertindak sebagai produser teater yang dapat memberikan ketenangan bagi upaya pemberantasan korupsi atau hanya menjadi penonton saat kerja KPK diprovokasi teror?