Jakarta, Kabarberita.id – Regulator transportasi Filipina menolak Go-Jek Indonesia untuk meluncurkan layanan “ride-hailing” di negara itu karena masalah kepemilikan asing, kata pejabat pemerintah, Rabu.
Reuters melaporkan, langkah ini menyulitkan rencana Go-Jek untuk memperluas pasar “ride-hailing” di Asia Tenggara yang saat ini didominasi oleh saingannya Grab, yang berbasis di Singapura.
Departemen regulasi transportasi darat Filipina, Land Transportation Franchising and Regulatory Board (LTFRB) menolak pengajuan anak perusahaan Go-Jek untuk menjadi layanan “ride-hailing” terbaru di Filipina, kata ketua regulator, Martin Delgra kepada Reuters.
Unit Go-Jek, Velox Technology Philippines Inc, “tidak memenuhi persyaratan kewarganegaraan dan aplikasi tersebut tidak diverifikasi sesuai dengan aturan kami”, kata Delgra.
Konstitusi Filipina membatasi kepemilikan asing hingga 40 persen untuk industri tertentu.
“Jika mereka ingin naik banding. Itu adalah pilihan mereka,” ujar Delgra, menambahkan bahwa Grab tetap menjadi perusahaan “ride-hailing” terbesar di Filipina.
Menurut regulator, Velox sepenuhnya dimiliki oleh Go-Jek, sementara Grab, melalui unit lokalnya MyTaxi.PH Inc., mematuhi batasan kepemilikan asing.
Juru bicara untuk Go-Jek, yang investornya antara lain Tencent Holdings Ltd dan JD.com Inc, mengatakan mereka terus “terlibat secara positif dengan LTFRB dan lembaga pemerintah lainnya, karena kami berupaya memberikan solusi transportasi yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat Filipina”.
Dimulai pada 2011 di Jakarta, Go-Jek telah berevolusi dari layanan “ride-hailing” menjadi aplikasi satu atap di mana pelanggannya dapat melakukan pembayaran online dan memesan semuanya dari mulai dari bahan makanan hingga layanan pijat.
Tahun lalu, Go-Jek mengatakan akan menginvestasikan 500 juta dolar AS untuk memasuki Vietnam, Singapura, Thailand dan Filipina, setelah Uber Technologies Inc mencapai kesepakatan untuk menjual operasinya di Asia Tenggara kepada Grab.
Go-Jek memulai peluncuran uji coba di beberapa wilayah Singapura pada November dan berinvestasi secara agresif karena lebih dari 640 juta konsumen di Asia Tenggara menggunakan ponsel pintar untuk berbelanja, bepergian, dan melakukan pembayaran.