DPR: Sanksi di Perpres Vaksin, Pemerintah Langgar Kesepakatan

Jakarta, KabarBerita.id — Ketua Komisi IX DPR Felly Estelita Runtuwene mengkritik langkah pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.
Felly menyatakan pemerintah telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat dengan DPR tentang sanksi bagi masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19.

Berdasarkan kesepakatan dalam Rapat Kerja antara Komisi IX dengan Kementerian Kesehatan, BPOM, serta BPJS Kesehatan regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah secara eksplisit disebutkan tak akan mengedepankan ketentuan atau denda atau pidana untuk menerima vaksin Covid-19.

“Perpres tersebut menurut kesimpulan rapat ini, sudah bertentangan. Intinya adalah, pemerintah sudah melanggar kesepakatannya dengan Komisi IX DPR,” kata Felly dalam keterangan resminya yang diunggah di situs fraksinasdem.org, Senin (15/1).

“Pemerintah sudah melanggar, karena kesepakatan itu mengikat kedua pihak, pemerintah dan DPR. Apa gunanya kita rapat kalau itu tidak ada legitimatenya?” ujarnya menambahkan.

Selain bertentangan dengan kesepakatan hasil rapat dengan Komisi IX, Felly berkata, Perpres 14/2021 juga melanggar Pasal 61 Peraturan Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2020.

Pasal 61 berbunyi, “Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh pemerintah.”

Menurutnya, Perpres 14/2021 juga bertentangan dengan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang sangat mengedepankan sosialisasi kepada masyarakat melalui iklan sosial masyarakat hingga sosialisasi langsung melalui tenaga kesehatan (nakes).

Politikus Partai NasDem itu menyebut Perpres yang diteken Presiden Joko Widodo tersebut telah menghadiri persepsi buruk terkait vaksinasi Covid-19 di tengah masyarakat.

“Kalau kita ancam bisa saja malah masyarakat semakin antipati. Komisi IX DPR intinya meminta pemerintah melakukan kampanye untuk mereka yang divaksin, menjelaskan sedetil mungkin soal manfaat vaksin kepada masyarakat,” ujarnya.

“Kalau tidak divaksin kerugiannya seperti apa, dan kalau divaksin untungnya apa saja. Bukan malah sebaliknya. Ancaman sanksi ini tidak pas. Bagi kami, ini melanggar hak-hak juga. Tidak boleh seperti ini,” kata Felly menambahkan.

Felly meminta pemerintah lebih arif dalam mengeluarkan kebijakan serta merespons sikap publik yang tidak mau menerima vaksinasi Covid-19. Ia juga meminta pemerintah mengevaluasi sosialiasi vaksinasi Covid-19 yang telah dilakukan selama ini.

“Tapi jangan keburu membuat sebuah keputusan dengan semacam sanksi seperti itu. Komisi IX DPR tidak setuju,” ujarnya.

Terpisah, Juru Bicara Jokowi, Fadjroel Rachman menyatakan bahwa Jokowi selalu mengedepankan pendekatan humanis, dialogis, dan persuasif dalam program vaksinasi Covid-19.

Menurutnya, aspek gotong royong dan kesukarelaan rakyat lebih diutamakan daripada pemberian sanksi adminstrasi dan pidana dalam regulasi yang telah diterbitkan oleh pemerintah.

“Gotong royong dan kesukarelaan 181,5 juta rakyat Indonesia yang akan divaksinasi lebih diutamakan daripada sanksi adminstrasi dan sanksi pidana yang secara positif ada di dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2021 maupun UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular,” kata Fadroel lewat akun Twitter-nya, @JubirPresidenRI, Senin (15/2).

Sebelumnya, Jokowi menerbitkan Perpres Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 beberapa hari yang lalu.

Dalam beleid tersebut, tertulis ancaman sanksi bagi warga sasaran vaksinasi Covid-19 yang menolak. Sanksi tersebut di antaranya penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bansos, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, atau berupa denda.

Tinggalkan Balasan