Jakarta, Kabarberita.id – Pemerintah DKI Jakarta mengendalikan dan mengantisipasi kasus demam berdarah (DBD) dengan menggandeng kerja sama lintas kedinasan hingga gerakan satu rumah satu jumantik (G1R1J).
“Kami berusaha mengendalikan DBD di Jakarta dengan bekerjasama dengan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) dan Kehutanan hingga menggalakkan gerakan G1R1J,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti di Jakarta, Senin.
Kerja sama dengan KPKP, kata Widyastuti, dalam pengadaan ikan cupang atau jenis lainnya yang memakan jentik nyamuk. Sedangkan dengan Dinas Kehutanan adalah pengadaan tanaman pengusir nyamuk.
“Pengadaan itu, untuk disebarkan di beberapa daerah terutama yang banyak terjangkit,” kata dia.
Selanjutnya, gerakan jumantik (juru pemantau jentik) di setiap rumah dan juga jumantik kecil di setiap sekolah yang digalakkan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta dengan Dinas Pendidikan yang dilatih oleh Puskesmas dan organisasi profesi.
“Saat ini memang sudah ada sekitar 30 ribu dengan kolaborasi bersama kelompok PKK di kecamatan-kecamatan. Namun kami mengimbau setiap rumah memiliki jumantik masing-masing yang sekarang sudah jadi program nasional dan melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk dan program 3M di tempat tinggal masing-masing dan di sekolah mengingat ada dugaan waktu penyebarannya adalah ketika anak-anak sedang bersekolah,” katanya.
Selain itu, untuk memutuskan mata rantai penularan DBD, Dinkes DKI melakukan pemantauan ketat melalui sistem “surveilans” DBD berbasis web yang sudah dimulai sejak 2005 dengan melibatkan 160 Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh DKI Jakarta sehingga dapat mempercepat informasi penularan berdasarkan nama dan alamat.
Dinkes DKI juga mengembangkan model prediksi angka DBD berbasis iklim menggandeng Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang dapat diakses pada laman bmkg.dbd.go.id, sebagai sistem kewaspadaan dini yang dapat diakses seluruh lapisan masyarakat.
“Kami juga menginstruksikan semua fasilitas layanan kesehatan untuk melakukan deteksi dini dan tata laksana kasus DBD sesuai standar,” ujarnya.
Dinas Kesehatan DKI mencatat 613 kasus DBD pada Januari 2019 yang terdistribusi di lima wilayah kota dengan jumlah tertinggi di tiga kota yakni Jakarta Selatan 231 kasus, Jakarta Timur 169 kasus, Jakarta Barat 153 kasus, sementara Jakarta Pusat dan Utara masing-masing 23 kasus dan 37 kasus.
Kasus dengan jumlah rataan tertinggi per 100 ribu penduduk (incident rate/IR) terbanyak di Jagakarsa 19,27; Kalideres 16,94; Kebayoran Baru 16,54; Pasar Rebo 13,93 dan Cipayung 13,57.
Untuk usia terserang adalah anak-anak sekolah antara 7-15 tahun dengan yang tertinggi 14-15 tahun yang artinya mengalami pergeseran di mana selama tiga tahun terakhir di usia 7-12 tahun.
Angka 613 kasus tersebut bisa dibilang cukup tinggi, jika melihat data 2018 (Januari-Desember) dengan 2.947 kasus dan dua kematian dan pada 2017 (Januari-Desember) dengan 3.362 kasus dan satu kematian.
“Namun tidak lebih tinggi dari 2016 dengan 20.432 kasus dan 14 kematian,” ucap Widyastuti.