Jakarta, Kabarberita.id – Capres dan cawapres diminta untuk tidak memboboti materi debat yang akan disampaikan dalam debat capres dengan materi yang mengundang pesimisme.
“Kami mengimbau kepada capres-cawapres untuk tidak memboboti materi debatnya dengan hoaks, kebohongan, pesimisme, dan asumsi yang menakut-nakuti masyarakat,” kata Koordinator Jaringan Milenial Anti-Korupsi dan Anti-Intoleransi Alan Christian Singkali di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan debat capres putaran pertama yang akan digelar pada 17 Januari 2019 akan mengangkat tema Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme.
Menurut dia, tema-tema ini cukup penting untuk diangkat ke permukaan karena selalu menjadi momok menakutkan ketika kembali mengingat peristiwa-peristiwa lalu yang saling terkait satu sama lain.
“Pemirsa debat nantinya tidak hanya kelompok orang tua, yang dengan mata terbuka telah menyaksikan pasang surut perpolitikan bangsa ini termasuk peristiwa-peristiwa yang erat kaitannya dengan tema itu,” ujarnya.
Penonton debat juga anak muda milenial yang menggali informasi sejarah masa lalu dari berbagai sumber yang keakuratannya bisa dipertanggungjawabkan.
“Artinya anak muda milenial, agak sulit untuk dibohongi, atau terpapar info hoaks, walaupun kebanyakan tidak menyaksikan peristiwa sejarah masa lalu secara langsung,” ucapnya.
Milenial yang jumlahnya mencapai 90 juta jiwa ini, lebih cenderung selalu mengkonfrontasi setiap pernyataan dengan data-data. “Jadi sebaiknya untuk tidak membingungkan milenial dengan data-data yang tidak benar, apalagi asumsi,” tuturnya.
Ia menegaskan, dari sisi hukum, bagi milenial penting untuk menekankan revitalisasi penegakan hukum agar tidak cuma tajam ke masyarakat bawah, namun tumpul ke kelompok elite.
“Kita masih ingat penggunaan instrumen hukum untuk mengkriminalisasi orang-orang tertentu hanya karena desakan massa. Hukum harusnya tetap berdiri pada prinsip keadilan,” katanya, menegaskan.
Ia menambahkan, kaum milenial begitu pedulinya dengan penegakan hukum sehingga akhir-akhir ini banyak gerakan petisi daring yang dibuat untuk mengoreksi setiap produk hukum.
Penuntasan pelanggaran HAM masa lalu adalah salah satu pekerjaan rumah yang senantiasa ditagih oleh kaum milenial.
“Para pelanggar HAM masih berkeliaran itu juga bentuk dari lemahnya instrumen hukum kita terhadap pembuktian kasus. Hal ini sama buruknya dengan sikap anti-kemanusiaan yang tentu tidak disenangi kaum muda,” katanya.
Begitu pula dengan terorisme yang semakin dibabat semakin merambat. Dominan kelompok muda, kata dia meyakini bahwa potensi terorisme tetap ada karena ketidaktegasan pemerintah sebelumnya untuk membersihkan ideologi anti-Pancasila dari bumi pertiwi.
“Isu terakhir adalah korupsi atau yang biasa disebut sebagai bahaya laten. Sudah banyak pernyataan sikap, janji-janji politik, pakta integritas, maupun Nota Kesepahaman, namun korupsi tetap masih ada. Ini besar kaitannya dengan mental, mental masyarakat Indonesia perlu mengalami pencerahan kembali,” tuturnya.
Ia berpendapat, upaya pemberantasan korupsi harus melampaui dari hanya sekadar janji-janji politik, namun juga penting untuk meyakinkan masyarakat melalui sistem pengawasan yang memperkuat integritas serta mencegah terjadinya praktik korupsi.
“Sejujurnya milenial sudah bosan dengan narasi-narasi panjang yang membingungkan dan hanya berisi seolah-olah bualan. Milenial perlu bukti-bukti akurat, oleh karena itu debat tanggal 17 Januari kita ingin melihat adu gagasan program yang lebih elegan, sehingga semua masyarakat bisa menilai dengan lebih jernih bukan hanya mengikuti hasrat emosi,” imbuhnya.
Ia mengutip pernyataan seorang CEO, pengusaha, dan penulis kenamaan Margaret Heffernan bahwa untuk mendapatkan begitu banyak gagasan yang baik dan inovasi yang nyata dibutuhkan interaksi antarsesama, konflik, argumen, dan debat.